951 total views, 6 views today
Oleh: Aji Sofyan Effendi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman Samarinda
Samarinda, WARTAIKN.COM – Indonesia tengah berdiri di persimpangan sejarah. Di satu sisi, negeri ini menatap masa depan dengan impian besar: Indonesia Emas 2045. Sebuah visi tentang negeri yang adil, makmur, dan berdaya saing global.
Namun di sisi lain tersandung oleh fenomena sosial yang tak kalah besar, yakni maraknya judi online (judol). Fenomena ini bukan sekadar permainan digital, tetapi sebuah gelombang sosial dan ekonomi yang membawa dampak sistemik, bahkan menggerogoti sendi-sendi ketahanan bangsa.
Meningkat Tajam: Antara Angka dan Fakta
Data yang dirilis oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memotret kenyataan mengkhawatirkan kerugian akibat judol:
Tahun 2021: Rp 57 triliun
Tahun 2022: Rp81 triliun
Tahun 2023: Rp327 triliun
Tahun 2024: Rp600 triliun
Kemudian tahun 2025 diperkirakan mencapai Rp900 triliun
Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa negara mengalami potensi kerugian sebesar Rp900 triliun di tahun 2025, sebagian besar akibat praktik judi online.
Ironisnya, para pelaku utamanya adalah mereka yang berasal dari lapisan masyarakat berpenghasilan rendah, termasuk generasi muda yang mulai kehilangan arah.
Mereka mencari jalan pintas menuju kemakmuran, namun tidak sadar sedang menggali lubang gelap yang curam dan dalam, yang siap menjatuhkan mereka ke dasar kehancuran ekonomi dan sosial.
Keterkaitan dengan Sistem Moneter dan Pengawasan Negara
Fenomena judol tidak berdiri sendiri. Ia menembus dan merusak jantung sistem keuangan negara: pengawasan moneter pada dasarnya, sistem moneter Indonesia dirancang untuk menjaga stabilitas nilai rupiah, mengendalikan inflasi, serta memastikan kelancaran sistem pembayaran nasional.
Namun aktivitas judi online yang sebagian besar berbasis digital dan lintas negara, ternyata membuka celah besar dalam sistem tersebut.
Platform judol menggunakan transaksi elektronik yang sering disamarkan, tersembunyi di balik dompet digital, akun palsu, hingga skema perputaran dana antarnegara.
Ini menimbulkan tantangan serius bagi Bank Indonesia dan OJK dalam mendeteksi peredaran uang ilegal (shadow money) dan menjaga stabilitas sistem pembayaran nasional.
Dengan perputaran hingga Rp900 triliun, dana tersebut nyaris tak berkontribusi terhadap ekonomi riil. Tidak ada nilai tambah, tidak ada pajak resmi, tidak ada investasi produktif, yang tersisa hanyalah konsumsi semu dan kebocoran dana keluar negeri.
Inilah bentuk paling brutal dari ekonomi predator, sebagian masyarakat tertipu janji ilusi, sementara negara kehilangan kendali atas sebagian besar likuiditasnya.
Jika kita diam, maka kita bukan hanya gagal mengawasi perputaran uang, tapi juga membiarkan sistem moneter kita dibajak oleh dunia bawah tanah digital.
Mengapa Ini Terjadi ? Sebuah Renungan Filosofis
Judi, dalam bentuk apapun, adalah ilusi harapan. Ia menjanjikan kemakmuran instan tanpa kerja keras. Namun sebagaimana dikatakan oleh filsuf Stoik Epictetus, Kebebasan bukan terletak pada mengikuti keinginan, tetapi pada mengendalikan keinginan itu sendiri
Kita hidup di zaman ketika kecepatan lebih diutamakan daripada kedalaman, dan kenikmatan sesaat lebih disukai daripada ketekunan dan disiplin.
Judol adalah simbol peradaban yang kehilangan akarnya ketika digitalisasi tidak disertai literasi, kemudian teknologi tidak dibarengi etika.
Dalam konteks ini, situs judol yang kini mencapai jutaan. Data terakhir situs judol yang sudah ditutup olem Kementerian Komdigi sebanyak 3.277.834 Situs, bukan hanya ancaman sosial, tapi simbol dari kolapsnya kontrol negara terhadap moral ekonomi masyarakatnya.
Jika masyarakat lebih percaya pada peluang lotre ketimbang produktivitas kerja, maka kehancuran bukan soal jika, tapi soal kapan. Dampaknya tidak hanya ekonomi, tapi peradaban.
Kerugian Rp900 triliun bukan sekadar angka ekonomi. Itu adalah potret robeknya integritas keluarga, hilangnya produktivitas pemuda, memburuknya kesehatan mental, dan terkikisnya fondasi moral bangsa.
Jika generasi muda kita lebih memilih “klik” taruhan daripada membangun usaha, maka mimpi besar Indonesia Emas bisa berubah menjadi utopia rapuh.
Filsuf Immanuel Kant pernah berkata “Tugas utama manusia adalah membentuk dirinya menjadi pribadi yang bermoral. Judol yang merusak nalar dan menghancurkan kontrol diri, adalah musuh senyap dalam perang panjang menuju kebangkitan nasional.
Menuju Pemulihan: Menemukan Jalan Pulang
Negara tak boleh diam. Penegakan hukum harus bersifat transnasional, seiring dengan sifat lintas batas dari situs judol.
Pemerintah perlu menggandeng platform teknologi, memperkuat PPATK, memperluas peran OJK dan BI dalam melacak transaksi mencurigakan, serta mengatur regulasi e-wallet dan perbankan digital secara lebih ketat.
Namun lebih dari itu, kita harus membangun ulang budaya bangsa: budaya literasi keuangan etika digital dan kesadaran spiritual bahwa kerja keras adalah jalan satu-satunya dan mulia
Judol adalah luka bangsa. Jika dibiarkan menganga, ia akan menjadi infeksi sosial yang menghancurkan generasi emas yang dicita-citakan.
Sebagaimana pepatah bijak: Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang tak pernah salah, tapi yang mau belajar dan memperbaiki diri.
Saatnya kita belajar dan bertindak.