Model Transmigrasi Kepulauan dan Pesisir

Aji Sofyan Effendi
Adji Sofyan Effendi di Labuan Bajo

 1,450 total views,  8 views today

(Sebuah kado tulisan menyambut Munas Aspeksindo di Jakarta, 12-14 Agustus 2025) 

Oleh Aji Sofyan Effendi (ASE), Dosen FEB Universitas Mulawarman Samarinda

Samarinda, WARTAIKN.COM – Pada 12-14 Agustus 2025, Assosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir Indonesia (Aspeksindo) melaksanakan Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta, untuk merumuskan model pembangunan masa depan.

Sebuah momentum yang bukan saja seremonial, tapi juga wajib mengeluarkan konsep bagaimana membangun Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau, dan masih ada sekitar 13.000 pulau terpencil, terluar, terbelakang, bahkan ada yang belum memiliki nama pulau.

Untuk Republik Indonesia yang sebentar lagi genap 80 tahun, kita perlu kado yang bukan sekadar seremonial, tapi kado yang bisa jadi solusi nyata buat tantangan masa depan.

Kado yang berani memikirkan ulang konsep lama, tapi dengan semangat baru. Salah satunya adalah Transmigrasi Kepulauan dan Pesisir.

Mungkin sebagian dari kita langsung kepikiran cerita lama: Transmigrasi dari Jawa ke Kalimantan, ke Sumatera. Konsep ini sempat jadi polemik, terutama belakangan ini.

Protes dari warga lokal di Kalimantan, misalnya, soal ketimpangan hak atas tanah dan fasilitas. Itu valid. Tanah dan sumber daya terbatas, kalau satu pihak diberi privilese lebih, wajar kalau yang lain merasa dicurangi. Keadilan sosial adalah hal utama.

Lalu, apa solusinya? Jangan buang konsep transmigrasi, tapi upgrade modelnya. Ide kami sederhana tapi radikal: Transmigrasi Kepulauan dan pesisir.

Bayangkan, Indonesia punya lebih dari 17.000 pulau, tapi lebih dari 10.000 di antaranya masih kosong. Belum berpenghuni. Sebagian besar masih jadi “titik” di peta yang kita lupakan.

Padahal, pulau-pulau ini adalah harta karun tak ternilai. Potensi perikanan dan kelautan yang melimpah, pariwisata yang bisa jadi destinasi kelas dunia, dan yang paling penting, ruang untuk masa depan.

Model transmigrasi kepulauan ini bukan soal memindahkan masalah, tapi soal menyebar potensi. Kita bisa mengatasi kepadatan penduduk di Jawa yang sudah overload, sekaligus mengoptimalkan aset negara yang selama ini terbengkalai.

Ilustrasi
Ilustrasi: Model transmigrasi kepulauan dengan penerangan PLTS. (AI)

 

Filosofi di Balik Transmigrasi Kepulauan: Dari Gelap Menjadi Terang

Lebih dari sekadar program, ini adalah sebuah filosofi. Kita mengubah cara pandang dari “Transmigrasi adalah cara memindahkan orang miskin” menjadi “Transmigrasi adalah cara membangun peradaban baru”.

1. Kedaulatan dan Ketahanan Nasional: Pulau-pulau terluar yang kosong adalah celah keamanan. Kasus Sipadan dan Ligitan adalah pelajaran pahit.

Dengan menempatkan penduduk secara demografis di pulau-pulau ini, kita secara otomatis memperkuat kedaulatan negara. Tidak ada lagi wilayah yang mudah dicaplok karena ‘tidak ada penghuninya’. Kehadiran warga negara di setiap jengkal tanah air adalah benteng terkuat.

2. Energi Terbarukan: Bayangkan desa-desa baru di pulau-pulau terpencil yang tadinya gelap gulita. Dengan teknologi modern, kita bisa langsung lompat ke masa depan.

Pasang panel surya di setiap rumah trans. Listrik bukan lagi kemewahan, tapi standar hidup. Pulau yang tadinya gelap gulita, kini terang benderang. Energi mandiri, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Ini adalah model pembangunan yang sesuai dengan semangat anak muda yang peduli lingkungan.

3. Ekonomi Biru untuk Generasi Baru: Potensi perikanan dan kelautan yang luar biasa di sekitar pulau-pulau ini bisa jadi tulang punggung ekonomi.

Transmigran tidak lagi sekadar petani, tapi juga nelayan modern, pengolah hasil laut, pengembang pariwisata bahari, bahkan peneliti kelautan. Ini menciptakan ekonomi biru yang berkelanjutan, membuka lapangan kerja baru, dan memberdayakan masyarakat.

4. Pembangunan dari Pinggiran: Pemerintah bisa fokus membangun sarana dasar yang esensial. Dengan adanya penduduk, otomatis infrastruktur seperti puskesmas, sekolah, dan dermaga akan terbangun.

Pembangunan tidak lagi terpusat di kota-kota besar, tapi merata hingga ke pulau-pulau kecil. Ini adalah wujud nyata dari sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Ilustrasi
Ilustrasi: Pulau yang tadinya sepi karena terpencil, menjadi padat penduduk setelah adanya transmigrasi kepulauan. (AI)

 

Transmigrasi kepulauan dan pesisir adalah sebuah mimpi yang layak kita wujudkan di usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia.

Ini adalah tentang keberanian untuk berinovasi, tentang semangat membangun, dan tentang kesadaran bahwa masa depan Indonesia tidak hanya ada di kota-kota besar, tapi di setiap gugusan pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.

Ini bukan lagi sekadar program, ini adalah narasi baru untuk Indonesia. Sebuah narasi tentang harapan, pertumbuhan, dan keadilan di atas air dan kepulauan

Sungguh, Musyawarah Nasional pada 12-14 Agustus yang dimotori oleh Aspeksindo akan mampu membawa Indonesia ke arah pembangunan kepulauan yang adil dan menyeluruh.

Ke depan, tidak ada lagi istilah pulau terpencil, tertinggal terbelakang, tapi yang ada adalah pulau harapan Indonesia yang maju, terang, modern, namun tetap memiliki nilai peradaban masyarakat Indonesia yang berbasis kemaritiman. (ASE)

wartaikn.com @ 2023