268 total views, 2 views today
Kita memang tidak harus membenci dunia, lalu hanya beribadah ritual selama 24 jam. Kita harus tetap mengejar urusan dunia, bahkan andaikan tahu bahwa besok hari kiamat bakal tiba.
Namun janganlah pula kebutuhan diri akan nikmat dunia itu membuat kita melupakan sama sekali urusan mati dan kehidupan sesudahnya.
Apalagi bagi kita yang hingga saat ini sudah diberi Allah usia di atas 40 tahun, dan bahkan mungkin sudah memiliki pencapaian yang mengagumkan soal harta, jabatan dan popularitas, marilah mulai mengendalikan diri dan menahan godaan-godaan duniawi tersebut.
Salah satu caranya tentu dengan mensiasati agar bagaimana segala pencapaian duniawi itu bisa kita konversi menjadi sumber-sumber pahala dan tabungan akhirat.
Yang punya jabatan dan harta misalnya, saatnya berpikir tentang bagaimana agar jabatan dan harta itu membuat kita semakin memiliki kesempatan dan kemampuan menebar kebaikan di dunia ini.
Jangan sampai keberhasilan mencapai beberapa kenikmatan dunia, malah membuat mabuk dan semakin ambisius. Apalagi bila kemudian ambisi itu menyebabkan munculnya tindakan menghalalkan segala cara.
Berapa lama lagi sih kita ingin menikmati dunia ini? Belum cukupkah harta, jabatan dan kekuasan yang ada? Mengapa tak mempersiapkan bekal akhirat dan menjalin huhungan baik dengan sesama, supaya nanti tidak ada yang membebani langkah menujur sorga?
Sadarilah, kita sudah mulai diingatkan dengan naiknya tekanan, gula darah, asam urat, bahkan daya ingat yang terkadang melemah. Kita mulai disapa dengan keram tangan, lutut sakit dan pusing kepala hanya saat tertimpa hujan rintik. Bahkan saat ini kita diingatkan dengan pandemi yang begitu menakutkan.
Khalifah Umar ibnu Khattab, pernah berkata: ”Bersama sepuluh orang, aku menemui Nabi SAW lalu salah seorang di antara kami bertanya, ‘Siapa orang paling cerdas dan mulia wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab, ‘Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya, mereka itulah orang yang cerdas, mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kehormatan akhirat’.” (hadits riwayat Ibnu Majah).
Begitulah, orang yang sekolahnya tinggi dan titelnya berderet, bahkan mungkin harta serta jabatanya juga sudah mencapai tataran paling atas, namun sesungguhnya ia belum cerdas bila masih terlena dan tertipu oleh kehidupan dunia. Belum mampu memahami hakikat kehidupan yang semu dan sementara.
Wallahu a’lam