Peran Perbankan dan Pentingnya Ekonomi Hijau dalam Tranformasi Ekonomi Indonesia

Adji Sofyan Efendi (Ketua ISEI Cabang Samarinda
Adji Sofyan Efendi (Ketua ISEI Cabang Samarinda

 1,882 total views,  4 views today

Oleh Aji Sofyan Effendi (Ketua ISEI Samarinda Korwil Kaltim, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unmul, Ketua Pusat Kajian Perencanaan Pembangunan & Keuangan Daerah Unmul Samarinda)

Samarinda,WARTAIKN.COM – Beberapa waktu lalu, tepatnya bulan Agustus 2024, dalam rangka menyambut kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Solo, dilaksanakan Pra-Kongres, hasil kerja bareng Bappenas RI dan ISEI Pusat Jakarta, di Yogyakarta.

Giat ini dihadiri oleh Pengurus ISEI se- Indonesia, membahas secara detail tentang Transformasi Ekonomi Indonesia menuju Indonesia Emas 2045.

Materi Penting dalam pertemuan tersebut adalah bagaimana desain tranformasi ekonomi Indonesia dalam upaya indonesia keluar dari ketergantungan ekonomi Indonesia yang berbasis Sumber Daya Alam (SDA) yang menjadi sasaran utama dalam RPJP Nasional.

Dijelaskan dalam Visi Indonesia Emas 2024, Indonesia perlu melakukan tranformasi menyeluruh untuk menuju Indonesia Emas 2045, yang tertuang dalam 8 Misi Pembangunan Transformasi menyeluruh.

Delapan misi ini meliputi transformasi sosial, transformasi ekonomi, transformasi tata kelola, supremasi hukum, stabilitas dan kepemimpinan Indonesia, ketahanan sosial budaya, dan ekologi.

Adapun kerangka implementasi transformasi terdiri dari 3 bagian yaitu, Pembangunan kewilayahan yang merata dan berkeadilan, Sarana dan sarana yang berkualitas ramah lingkungan, serta adanya Kesinambungan pembangunan.

Pada era 1970-an, Indonesia mulai memperkuat sektor industri, didukung oleh pendapatan dari ekspor minyak dan gas.
Pemerintah menerapkan kebijakan yang berfokus pada pembangunan infrastruktur dan industrialisasi melalui Orde Baru, yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.

Ini menjadi landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang signifikan, meskipun pada saat yang sama menciptakan ketergantungan pada komoditas ekspor.

Krisis ekonomi Asia pada akhir 1990-an menandai titik balik penting dalam sejarah ekonomi Indonesia.

Krisis ini memaksa Indonesia melakukan reformasi besar-besaran, termasuk liberalisasi ekonomi, desentralisasi, dan penguatan sektor keuangan.

Pasca-krisis, sektor jasa mulai berkembang pesat, terutama di bidang perbankan, telekomunikasi, dan pariwisata, yang berkontribusi terhadap diversifikasi ekonomi.

Selama dua dekade terakhir, Indonesia terus berupaya meningkatkan daya saing ekonomi melalui pembangunan infrastruktur, reformasi regulasi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Selain itu, munculnya ekonomi digital menjadi pendorong transformasi terbaru, dengan sektor e-commerce, fintech, dan teknologi informasi berkembang pesat.

Meskipun demikian, Indonesia masih menghadapi tantangan signifikan dalam proses transformasi ekonomi ini.

Ketimpangan regional, ketergantungan pada sumber daya alam, serta perlunya peningkatan produktivitas dan inovasi merupakan beberapa isu yang perlu diatasi untuk mencapai pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Secara keseluruhan, transformasi ekonomi Indonesia merupakan perjalanan yang kompleks dan berkelanjutan, mengharuskan negara ini terus beradaptasi dengan perubahan global dan domestik untuk mencapai visi menjadi negara maju pada 2045.

Berikut gambar 8 komponen inti tranformasi dan diversifikasi ekonomi Indonesia:

Terkait dengan ekonomi hijau yang menjadi point penting dalam Transformasi Ekonomi Indonesia, sejauh ini sistem ekonomi Indonesia telah dibangun berdasarkan pola ekstraktif yang mengeksploitasi sumber daya alam dan memprioritaskan penggunaan sumber energi yang tidak ramah lingkungan dan murah seperti bahan bakar fosil.

Dengan pesatnya pertumbuhan populasi manusia sejak abad ke-19, pola konsumsi dan produksi yang bersifat eksploitatif ini berkembang pesat sehingga menciptakan dampak lingkungan.

Hal ini antara lain berkontribusi pada peningkatan suhu global, menyebabkan kerusakan ekologi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan cuaca ekstrem yang merugikan produksi pertanian global, mengancam kesehatan, serta memperluas ketidaksetaraan pada aspek sosial dan ekonomi.

Laporan kesenjangan emisi terbaru dari UNEP menyoroti bahwa dunia hanya memiliki peluang 14 persen untuk membatasi pemanasan di bawah ambang batas 1,5 °C yang disepakati.

Oleh karena itu, mendesain ulang pola produksi dan konsumsi, kemudian memikirkan ulang sistem ekonomi agar selaras dengan ambisi membatasi pemanasan global, tentu menjadi suatu keharusan.

Memiliki pola yang hampir sama dengan negara dengan ekonomi berkembang lainnya, sistem ekonomi Indonesia saat ini masih mengikuti model business as usual atau umum, yang memberikan prioritas pada keuntungan ekonomi jangka pendek, dengan fokus pada pencapaian PDB yang lebih tinggi dan menekan tingkat pengangguran.

Terlepas dari manfaatnya, model ekonomi untuk keuntungan jangka pendek erat hubungannya dengan risiko peningkatan kerusakan lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem sehingga dapat mempercepat ketidakstabilan iklim dan meningkatkan beragam biaya yang berkaitan dengannya.

Indonesia telah melihat secara langsung besarnya biaya kerusakan ekologi, seperti yang dapat diilustrasikan oleh peristiwa kebakaran hutan besar pada 2015, yang mencapai kerugian ekonomi sekitar 16,1 miliar dolar AS.

Melalui kerja sama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), World Resources Institute (WRI) Indonesia telah melakukan analisis pemodelan iklim-ekonomi, yang mengungkapkan bahwa model ekonomi umum tidak hanya berkontribusi pada degradasi lingkungan dan risiko iklim, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Menurut analisis WRI (2023), dengan menganut model ekonomi ini secara terus-menerus dapat membatasi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi rata-rata 5,1 persen dari tahun 2025 hingga 2045, di bawah rentang target 6–7 persen.

Oleh karena itu, jika pola ini terus berlanjut, visi Indonesia tahun 2045 agar Indonesia lepas dari jebakan negara berpenghasilan menengah mungkin saja terancam.

Indonesia perlu mengubah sistem ekonominya ke arah ekonomi hijau yang berkelanjutan guna mengubah arah tren ini.

Konsep ekonomi hijau bertujuan untuk membentuk sistem produksi dan konsumsi yang melindungi sumber daya alam.

UNEP mendefinisikan ekonomi hijau sebagai sistem yang pertumbuhan pendapatan dan lapangan kerjanya didorong oleh investasi yang mendukung; (1) pengurangan emisi dan polusi, (2) peningkatan efisiensi energi dan sumber daya, (3) menjaga keseimbangan keanekaragaman hayati dan ekosistem.

Sejauh Mana Keadaan Ekonomi Hijau Indonesia?

Pertanyaan mendesak yang perlu dijawab adalah, dalam konteks pencapaian NDC yang ambisius hingga tahun 2030 dan kontribusinya dalam upaya menekan pemanasan untuk tidak melebihi ambang batas 1,5 °C, adalah sejauh mana upaya Indonesia telah efektif dalam mewujudkan ekonomi hijaunya?

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), telah mengambil langkah strategis untuk memastikan adopsi kerangka ekonomi hijau, terutama dalam dokumen perencanaan nasional strategisnya.

Tahun ini pemerintah meluncurkan Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJPN) untuk periode 2025–2045, yang menekankan pentingnya strategi ekonomi hijau sebagai salah satu tujuan nasional utama.

Pendekatan ini mencakup agenda-agenda kunci seperti pengembangan rendah karbon, transisi energi, pembiayaan hijau, dan ekonomi sirkular.

Tetapi keberhasilan operasional agenda ekonomi hijau bergantung pada pelaksanaannya di tingkat sektoral, regional, dan masyarakat.

Selain itu, Indonesia telah menginisiasi beberapa dorongan kebijakan untuk membentuk kembali ekonomi nasional, termasuk pengembangan peraturan mengenai harga karbon mulai tahun 2021, yang mencakup mekanisme pasar dan non-pasar untuk memperkuat pendapatan yang mendukung transisi ekonomi.

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Pajak, mendukung hal ini dengan perincian rencana pajak karbon untuk mengurangi insentif emisi dari sektor energi.

Beberapa waktu lalu, Bursa Efek Indonesia meluncurkan sistem batasan dan perdagangan karbon untuk memungkinkan perusahaan melakukan perdagangan unit karbon guna pengurangan emisi dari pasar domestik dan internasional.

Indonesia juga telah melakukan beragam upaya untuk mendirikan pendanaan kekayaan kedaulatan pertamanya, yang dikenal sebagai Indonesia Investment Authority, untuk menarik investasi di sektor-sektor hijau.

Secara bersamaan, PT SMI dibentuk untuk menjembatani kesenjangan pembiayaan pengembangan infrastruktur hijau dalam negeri.

Ambisi Indonesia saat ini untuk melakukan transisi ekonomi patut diapresiasi,  Indonesia juga telah mengesahkan beberapa Undang-Undang (UU) yang berpotensi merugikan transisi ekonominya dalam jangka panjang.

Sebagai contoh, pembentukan UU kontroversial tentang Penciptaan Lapangan Kerja pada awal tahun 2023, yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, pada saat bersamaan melonggarkan standar lingkungan untuk investasi di Indonesia.

Pada tahun 2020, Indonesia juga mengesahkan UU Pertambangan yang memberikan hak pertambangan otomatis selama 20 tahun.

Selanjutnya, akibat krisis energi yang timbul dari konflik Rusia-Ukraina, Indonesia mengorbankan penggunaan keuangan publik dengan melipatgandakan pengeluarannya untuk subsidi bahan bakar berbasis fosil, LPG, dan listrik pada tahun 2022.

Salah satu keberhasilan transformasi ekonomi Indonesia adalah kebutuhan investasi.

Berikut penjelasan terkait kebutuhan investasi untuk memback up tranformasi ekonomi Indonesia terlihat pada gambar berikut ini:

Untuk membangun sistem ekonomi hijau yang sesungguhnya, kebijakan yang selaras menjadi sangat penting.

Sebagai contoh, meskipun kerangka ekonomi hijau telah tercermin dalam dokumen perencanaan nasional strategis Indonesia seperti RPJPN, namun keberhasilan sepenuhnya tergantung pada kemampuan menerjemahkan kerangka tersebut ke tingkat operasional yang lebih konkret, khususnya di tingkat sektoral, subnasional, dan tingkat masyarakat.

Oleh karena itu, pekerjaan ke depannya menuntut upaya bersama untuk mengintegrasikan kebijakan ekonomi hijau kunci dengan berbagai otoritas kementerian dan subnasional, dengan mengharuskan pembagian kerja yang terpisah.

Peran Perbankan dalam Kontribusi Pembentukan Ekonomi Hijau

Ke depan, pemerintah harus memahami pentingnya alokasi dan pemanfaatan dana agar bisa digunakan untuk mendukung kebijakan ekonomi hijau.

Hal ini tidak hanya akan mendorong lapangan kerja dan mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk memberikan manfaat sosial dan lingkungan secara bersamaan.

Seiring dengan upaya menuju ekonomi hijau, dibutuhkan kesiapan Indonesia untuk melalui proses transisi dari kondisi semula yang memiliki ketergantungan pada teknologi dan sumber energi beremisi tinggi menuju teknologi rendah karbon dan berkelanjutan.

Termasuk dalam proses transisi pada aspek sumber daya manusia dalam mempersiapkan talenta-talenta di Indonesia agar mampu beradaptasi dengan teknologi baru melalui program pelatihan dan peningkatan keterampilan.

Pada proses transisi ini, akan diperlukan jaringan pengaman sosial untuk masyarakat yang terkena dampak transisi, langkah-langkah percepatan penggunaan teknologi rendah karbon, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

Semua kebijakan ini harus saling mendukung untuk menjamin transisi yang adil menuju ekonomi hijau.

Terkait dengan Peran Perbankan Indonesia dalam berkontribusi terhadap pembentukan ekonomi hijau, perbankan memegang peran penting dalam mendukung terbentuknya ekonomi hijau di Indonesia yakni melalui berbagai kebijakan, inisiatif, dan produk keuangan yang ramah lingkungan.

Berikut adalah beberapa kontribusi utama perbankan dalam ekonomi hijau:
1. Pembiayaan Berkelanjutan (Green Financing)
Perbankan dapat menawarkan produk dan layanan keuangan yang didedikasikan untuk mendukung proyek-proyek ramah lingkungan.

Ini mencakup pembiayaan untuk energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin, efisiensi energi, pengelolaan air, serta pengelolaan limbah.

Bank juga dapat memberikan kredit dengan suku bunga yang lebih rendah untuk bisnis yang beroperasi dengan prinsip-prinsip keberlanjutan.

2. Obligasi Hijau (Green Bonds)
Banyak bank di Indonesia yang telah mulai menerbitkan green bonds, yang merupakan instrumen keuangan yang digunakan untuk mengumpulkan dana bagi proyek yang berfokus pada lingkungan.

Dana dari obligasi ini diarahkan untuk mendanai proyek-proyek ramah lingkungan, seperti pembangunan infrastruktur hijau dan pelestarian sumber daya alam.

3. Pengelolaan Risiko Lingkungan dan Sosial.
Bank juga terlibat dalam pengelolaan risiko yang berkaitan dengan dampak lingkungan dan sosial dari investasi mereka.

Dengan menerapkan kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam evaluasi risiko kredit, perbankan membantu mendorong praktik bisnis yang lebih bertanggung jawab dan ramah lingkungan.

4. Inisiatif Keuangan Digital untuk Pengurangan Emisi.
Perbankan digital dan inovasi dalam layanan digital juga berkontribusi terhadap ekonomi hijau.

Layanan perbankan digital dapat mengurangi ketergantungan pada transaksi fisik, yang pada gilirannya mengurangi konsumsi energi dan sumber daya seperti kertas. Hal ini sejalan dengan tujuan pengurangan jejak karbon dari industri perbankan.

5. Kolaborasi dengan Pemerintah dan Swasta.
Perbankan juga dapat berkolaborasi dengan pemerintah dan sektor swasta untuk mempromosikan kebijakan yang mendukung ekonomi hijau.

Misalnya, bank dapat bekerja sama dalam skema-skema pembiayaan inovatif untuk energi terbarukan atau transportasi berkelanjutan yang didorong oleh kebijakan nasional seperti *Nationally Determined Contributions* (NDCs) dalam Perjanjian Paris.

6. Pendidikan dan Kesadaran Pelanggan.
Bank dapat mendukung ekonomi hijau dengan memberikan edukasi kepada nasabah dan pemangku kepentingan mengenai pentingnya keberlanjutan dan dampak positif dari memilih produk atau layanan keuangan yang ramah lingkungan.

Edukasi ini dapat mencakup literasi keuangan yang mendukung keberlanjutan, sehingga menciptakan basis nasabah yang sadar lingkungan.

7. Mendukung UMKM Hijau.
Bank dapat memberikan dukungan khusus kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang beroperasi di sektor hijau.
Dengan memberikan akses ke modal kerja dan kredit usaha yang berfokus pada keberlanjutan, UMKM ini dapat berkembang dan memberikan kontribusi signifikan terhadap ekonomi hijau di tingkat lokal dan nasional.

8. Inovasi dalam Produk Perbankan.
Beberapa bank telah mulai mengembangkan produk seperti tabungan hijau atau rekening hijau, yakni sebagian dana yang disimpan digunakan untuk mendukung proyek-proyek lingkungan atau memberikan insentif bagi pelanggan yang menjalani gaya hidup ramah lingkungan.

Walhasil, perbankan memainkan peran vital dalam transisi menuju ekonomi hijau di Indonesia.
Melalui kebijakan pembiayaan berkelanjutan, inovasi produk keuangan hijau, dan kerja sama lintas sektor, perbankan dapat membantu mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dan mendukung mitigasi perubahan iklim. (ASE).

wartaikn.com @ 2023