Pendekatan Lanskap dan Kekhususan Pembangunan Berbasis RT di Muara Mahakam

Kawasan Delta Mahakam, (Foto: Ist/ Koleksi M4CR/ Annisa Ni'matul R)
Kawasan Delta Mahakam, (Foto: Ist/ Koleksi M4CR/ Annisa Ni'matul R)

 468 total views,  8 views today

Oleh: M. R. Imam Subarkah, Pegiat Komunitas, Pelaku M4CR

Tenggarong, WARTAIKN.COM – Kawasan pulau-pulau pesisir di muara Sungai Mahakam menyimpan realitas yang berbeda dari daratan. Di kawasan ini, masyarakat hidup di antara jalur air, tambak, mangrove, nipah, dan dinamika ekologi yang sangat menentukan keberlangsungan hidup mereka.

Dalam pengalaman pendampingan melalui Program Mangroves for Coastal Resilience (M4CR) yang berbasis pendekatan lanskap, menjadi jelas bahwa pembangunan berbasis RT di kawasan pesisir ini tidak bisa disamakan dengan model pembangunan RT di wilayah darat.

Artikel ini berupaya menawarkan cara pandang baru, bahwa RT di Muara Mahakam memerlukan model percepatan pembangunan khusus yang selaras dengan konteks lanskap, pola mobilitas ganda, serta struktur sosial-ekonomi pesisir.

Pendekatan generik—yang dipakai untuk RT di darat—tidak mampu menjawab tantangan unik yang dihadapi komunitas di muara.

RT sebagai Unit Sosial, Lanskap sebagai Unit Ekologis

Pembangunan berbasis RT menempatkan warga sebagai penggerak utama dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan lingkungan terdekat mereka.
Model ini memberikan ruang partisipasi, mempercepat penyelesaian masalah skala kecil, dan meningkatkan pemerataan.

Namun pendekatan ini pada dasarnya adalah pembangunan permukiman.
Sebaliknya, pendekatan lanskap melihat suatu wilayah sebagai satu kesatuan ekologis dan fungsional yang melampaui batas administratif RT atau desa. Dalam konteks Muara Mahakam, lanskap ini mencakup:
• kawasan hutan produksi terdegradasi,
• mosaik mangrove dan nipah,
• kanal serta petak-petak tambak,
• permukiman linear di sepanjang bantaran sungai,
• ruang tangkap ikan dan wilayah produksi,
• hingga keberadaan satwa liar seperti buaya muara.

Di wilayah darat, pendekatan RT dan lanskap bisa berjalan paralel tanpa saling mengganggu. Tetapi di Muara Mahakam, keduanya tidak bisa dipisahkan. RT adalah unit sosial tempat warga bermukim; lanskap adalah unit ekologis tempat warga mencari nafkah.
Keduanya menempel rapat, sehingga pembangunan RT harus dipahami sebagai pembangunan dalam lanskap.

Karakteristik Unik Komunitas Muara Mahakam

1. Ekologi yang Menentukan Nafkah
Mayoritas warga bekerja sebagai nelayan, petambak, dan penjaga tambak. Sumber penghidupan mereka bergantung pada kualitas air payau, tutupan nipah dan mangrove, serta stabilitas tanggul-tanggul tambak.
Mereka juga harus beradaptasi dengan keberadaan satwa dilindungi seperti buaya muara yang kerap muncul di wilayah tambak dan jalur air. Kerusakan ekologis tidak hanya berdampak jangka panjang, melainkan langsung memukul pendapatan harian.

2. Mobilitas Ganda dan Rumah Ganda
Kondisi geografis memunculkan fenomena unik. Sebagian besar keluarga memiliki dua rumah:
– Rumah Muara (Fungsional Produksi): dekat tambak, menjadi pusat aktivitas ekonomi dan pengamanan aset.
– Rumah Darat (Fungsional Sosial): untuk akses pendidikan, kesehatan, dan layanan dasar.
Hal ini menciptakan fenomena Absentee Population, yaitu warga yang ber-KTP muara tetapi secara fisik lebih banyak berada di darat. Pola mobilitas yang rumit ini menuntut model layanan publik dan perencanaan pembangunan yang mengakui dua lokasi hidup warga
3. Kelembagaan Desa yang Terfragmentasi
Kepala Desa, Ketua RT, dan perangkat lokal menghadapi tantangan partisipasi karena warga menyebar di dua lokasi. Kondisi ini menuntut inovasi tata kelola, termasuk perlunya sekretariat perwakilan RT di darat yang berfungsi sebagai pusat pelayanan.

Perlakuan RT di Muara Tidak Sama dengan RT di Darat

Perbedaan antara RT di muara dan RT di darat bukan soal geografi semata, melainkan soal struktur sosial-ekologis.

RT di pesisir membutuhkan:
• Infrastruktur adaptif-ekologis, bukan sekadar fisik permukiman.
• Layanan berbasis mobilitas air, bukan mobilitas darat.
• Kelembagaan yang mampu bekerja lintas lokasi.
• Kebijakan yang mempertimbangkan fungsi kawasan hutan negara.
• Penguatan ekonomi berbasis tambak dan perairan, bukan agraris-darat.

Dengan kata lain, standar pembangunan RT di darat tidak relevan untuk wilayah muara. Jika dipaksakan, pembangunan akan tidak efektif, mahal, dan cepat rusak.

Strategi Integratif: Menyatukan Pembangunan RT dan Pendekatan Lanskap

Untuk menjawab kompleksitas di Muara Mahakam, diperlukan strategi yang menggabungkan kekuatan dua pendekatan: RT sebagai basis sosial dan lanskap sebagai basis ekologis.

Tiga pilar integratif berikut menjadi fondasinya:

1. Pilar Sosial – Pengakuan Mobilitas & Rumah Ganda
• Pemetaan hubungan RT muara dan RT darat.
• Forum lintas-RT untuk mengatur kebutuhan bersama.
• Pengakuan bahwa RT muara memegang fungsi produksi yang berbeda dari RT darat.

2. Pilar Ekologis – Rehabilitasi sebagai Infrastruktur Aset
• Rehabilitasi mangrove dan nipah bukan sekadar kegiatan lingkungan, tetapi perlindungan langsung aset tambak.
• Skema Perhutanan Sosial dan Kemitraan Konservasi sebagai jalan legal untuk memperkuat pengelolaan ruang.

3. Pilar Ekonomi – Penguatan Tambak sebagai Sistem Produksi
• Penerapan standar Tambak Bersih.
• Diversifikasi sistem budidaya.
• Penguatan kapasitas penjaga tambak sebagai pengelola bersertifikat.
• Rantai pasok tambak berkelanjutan.

Tiga pilar ini membuat pembangunan RT di pesisir tidak hanya berorientasi pada fisik permukiman, tetapi pada keberlanjutan ruang hidup dan ekonomi.

Kekhususan RT di Muara dan RT di Darat

Kekhususan RT di muara harus dilihat sebagai konsekuensi langsung dari perbedaan fungsi ruang hidup, struktur ekonomi, dan risiko ekologis dibandingkan RT di darat.
Dalam pendekatan lanskap, RT di muara bukan hanya unit permukiman, tetapi merupakan unit ekologi–produksi yang mengelola aset penghidupan, ruang air, dan ritme alam.

A. Kekhususan Aset & Ruang Hidup

• RT di Muara: aset utama adalah tambak, perahu, jalur air, pintu air, tanggul, dan vegetasi penahan (mangrove–nipah). Seluruh aset ini berada dalam ekosistem estuari yang dinamis dan berisiko tinggi.
• RT di Darat: aset utama adalah rumah, halaman, jalan lingkungan, fasilitas sosial, dan infrastruktur darat.

Perbedaannya bersifat struktural: di muara, aset ekonomi warga berada di luar lokasi rumah dan mengikuti ritme pasang–surut.

B. Kekhususan Mobilitas & Domisili (Fenomena Rumah Ganda)

• RT di Muara: warga memiliki dua lokasi hidup—rumah produksi di muara dan rumah layanan di darat. Mobilitas ini berlangsung harian/mingguan dan menentukan akses pendidikan, kesehatan, dan administrasi.
• RT di Darat: warga tinggal menetap dan layanan berada dalam radius dekat.
Fenomena ini menciptakan kebutuhan baru: RT Ganda, yaitu RT fungsional muara yang terhubung dengan RT administratif di darat.

C. Kekhususan Risiko Ekologis

• RT di Muara: menghadapi abrasi, rembesan tanggul, intrusi air asin, sedimentasi kanal, perubahan kualitas air, serta risiko keberadaan satwa liar seperti buaya muara.
• RT di Darat: risiko dominan berupa genangan air, banjir darat, atau konflik lingkungan permukiman.

D. Kekhususan Fungsi Sosial–Ekonomi

• RT di Muara: mengelola keamanan aset tambak, ritme produksi, kanal transportasi air, hingga mitigasi risiko ekologis.
• RT di Darat: mengelola kegiatan sosial-permukiman, administratif, dan layanan dasar.

Standar pembangunan RT di darat tidak relevan untuk RT di muara karena struktur ruang hidup, risiko, dan kebutuhan dasarnya berbeda secara fundamental.
Urgensi Penyesuaian Peraturan (Revisi Perbup) untuk Mengatur Percepatan Pembangunan RT di muara

Percepatan pembangunan berbasis RT di wilayah muara memerlukan klausul perlakuan khusus di dalam Peraturan Bupati, tanpa harus membuat regulasi baru. Perbup 63/2021 (dan revisinya) memiliki celah normatif yang memungkinkan penetapan lokasi khusus dan menu khusus, terutama melalui fleksibilitas penyusunan petunjuk teknis tahunan.

A. Alasan Substantif Perlunya Penyesuaian

1. Struktur ruang hidup ganda (muara–darat) menuntut pengakuan formal terhadap RT Fungsional dan RT Administratif.
2. Aset ekonomi pesisir (tambak–kanal–pintu air) membutuhkan program yang tidak ada dalam standar pembangunan RT darat.
3. Risiko ekologi tinggi (abrasi, salinitas, buaya) menuntut menu khusus yang berorientasi pada keselamatan dan penghidupan.
4. Mobilitas berbasis air menimbulkan kebutuhan logistik layanan yang tidak tercakup di menu RT umum.

B. Prinsip Penyesuaian Regulasi

• Pengaturan harus bersifat lokasi-spesifik, tidak diterapkan secara universal.
• Program muara harus fokus pada perlindungan aset, infrastruktur hijau, dan layanan lintas spasial.
• RT di Darat di klaster muara harus diakui sebagai wilayah pendukung layanan sosial, bukan beban administratif.
• Penyesuaian dilakukan terutama melalui Juknis tahunan, sesuai mandat Pasal 20 yang memberi ruang adaptasi.

C. Rumusan Klausul yang Perlu Masuk Perbup

1. Penetapan RT Lokasi Khusus Ekologi–Produksi untuk wilayah pesisir/estuari.
2. Kewenangan Dinas PMD menerbitkan menu pembangunan khusus untuk RT Muara.
3. Pengakuan RT Fungsional Muara ↔ RT Administratif Darat sebagai satu sistem pelayanan.
4. Prioritas anggaran untuk program perlindungan tambak, mobilitas air, dan rehabilitasi mangrove–nipah.

Dengan penyesuaian ini, pembangunan berbasis RT menjadi lebih adil secara spasial, – sesuai fungsi ruang hidup warga, – berorientasi pada keselamatan dan keberlanjutan, – dan selaras dengan pendekatan lanskap.

Rekomendasi Program Kekhususan RT Ganda

Berikut adalah rumusan Program Kekhususan RT Ganda yang disusun berdasarkan konteks sosial–ekologi muara, fenomena mobilitas ganda, dan peran RT sebagai unit lanskap–produksi.

1. Program Infrastruktur Hijau & Keamanan Aset Tambak (RT Muara)
• Penanaman mangrove/nipah berbasis fungsi filter estuari di titik pintu air tambak (silvofishery wajib).
• Perbaikan tanggul kritis, penanganan rembesan, dan titik abrasi.
• Patroli jalur air berbasis RT untuk menjaga kanal produksi.
• SOP vegetasi aman buaya (jenis, jarak tanam, ketinggian, kerapatan).
• Pengendalian sampah/serasah yang memengaruhi arus dan kualitas air.
2. Program Logistik Pelayanan Lintas Spasial (RT Darat ↔ RT Muara)
• Subsidi transportasi air untuk pendidikan dan kesehatan.
• Penguatan Sekretariat Perwakilan RT di Darat sebagai pusat layanan.
• Penataan titik naik-turun perahu dan jalur aman anak sekolah.
• Mekanisme layanan lintas RT untuk warga mobilitas ganda.
3. Program Penguatan Tata Kelola RT Ganda (Dual Governance)
• Pelatihan Ketua RT Muara dan Koordinator Tambak sebagai pengelola ekologi–produksi.
• Mekanisme koordinasi “RT Darat – RT Muara” untuk fungsi sosial–produksi.
• Musyawarah rutin lintas RT.
• Basis data warga mobilitas ganda serta peta aset–akses.
4. Program Manajemen Risiko Ekologi Tambak (RT Muara)
• Titik pantau kualitas air berbasis masyarakat.
• SOP buka–tutup pintu air mengikuti ritme pasang–surut.
• Pemetaan dan pemantauan jejak buaya untuk keselamatan penjaga tambak.
• Dokumentasi risiko: abrasi, rembesan, arus kuat, sedimentasi.
5. Program Penguatan Ekonomi–Ekologi Tambak
• Implementasi standar Tambak Bersih.
• Diversifikasi budidaya adaptif (kepiting, ikan payau, udang eco-friendly).
• Branding “Udang Silvofishery Muara Mahakam”.
• Peningkatan kapasitas penjaga tambak.
________________________________________
Momentum M4CR sebagai Titik Awal Transformasi

Program M4CR membawa pendekatan lanskap sebagai cara melihat tata ruang dan mata pencaharian secara utuh. Momentum ini sangat tepat untuk mengintegrasikan perspektif pembangunan berbasis RT ke dalam kerangka lanskap pesisir.

Jika model khusus ini diadopsi, Kabupaten Kutai Kartanegara tidak hanya membuat pembangunan lebih efektif, tetapi juga menegakkan keadilan spasial bagi masyarakat pesisir—komunitas yang hidup paling dekat dengan perubahan iklim, dinamika ekologis, dan risiko ekonomi.

Kekhususan bukanlah keistimewaan, tetapi keharusan.
Muara Mahakam adalah tempat di mana kebijakan yang sensitif lanskap sangat dibutuhkan.

 

wartaikn.com @ 2023