Problematika Bahasa Nasional di Ruang Publik

Para narasumber dalam Forum Sumbu Tengah
Para narasumber dalam Forum Sumbu Tengah. (Ist/ Sumbu Tengah)

 406 total views,  20 views today

Samarinda – Sejak pendidikan SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi selalu ada mata pelajaran Bahasa Indonesia, tetapi ruang publik kita masih saja bermasalah dengan bahasa nasional ini. Kata dan ungkapan makian kian marak terutama di dunia digital.

Bahasa Indonesia juga tergerus dengan masifnya bahasa prokem atau bahasa gaul yang tumbuh subur menyasar anak-anak gen Z dan gen Alfa.

Hal itu terungkap dalam forum SUMBU TENGAH Edisi 3 yang digelar di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda pada Senin (28/7/2025).

Narasumbernya ada tujuh orang, yaitu Felanans Mustari, Muhammad Tirta Artesian, Jacinta Maharani Mulawarman, Celine Huang, Cinzy Grace, dan Muhammad Sarip. Acara dibuka oleh Kepala Balai Bahasa, Asep Juanda, dengan pewara Muhammad Abdan Dzul Arsyil Majid dan Bernike Gloria Nodeak serta dipandu oleh founder SUMBU TENGAH, Rusdianto.

“Misalnya dalam game online, bahasa para pemainnya penuh dengan umpatan seisi kebun binatang, dan mereka ini entitas yang banyak pelakunya terutama kaum muda,” ungkap Felanans yang meraih medali emas cabang esport Pekan Olahraga Wartawan Nasional XIV 2024.

Menurut Pemimpin Redaksi Kaltimkece.id. tersebut, di Jepang bahasa nasional mereka hanya diujikan kepada penutur non-Jepang.

“Tapi di Indonesia malah ada UKBI atau Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia untuk WNI di luar pendidikan formal sekolah,” ujar Felanans.

Rusdianto, jurnalis yang menciptakan lagu “Tapi Ini Samarinda” menyoroti penggunaan diksi-diksi baru yang diciptakan dengan sengaja untuk menggantikan diksi yang telah ada dalam KBBI.

“Sebagai contoh lawan kata haus di KBBI adalah palum. Tapi ada pengguna TikTok yang membuat kata galgah dan diikuti oleh banyak orang,” sebut Rusdi.

Tirta yang terpilih sebagai Duta Baca Kaltimtara 2025 berpendapat, pembuatan diksi baru bahasa Indonesia kadang ada yang diterima publik dan ada yang ditolak.

“Ivan Lanin membuat kata _tagar_ untuk padanan _hashtag_. Tagar cukup diterima. Tapi ada diksi misalnya _tetikus_ untuk _mouse_. Jarang ada yang mau memakai tetikus,” ungkap Tirta.

Sementara itu di luar ruang formal, Jacinta yang juga Duta Bahasa Kaltimtara mengaku, kadang mendapat perlakuan berbeda dengan temannya yang lain.

“Kita memang berbahasa sesuai tempatnya. Tapi sebagai Duta Baca, kadang saya di tongkrongan diejek sambil bercanda karena menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Kadang saya tetap meneruskannya supaya teman-teman juga tahu ragam bahasa yang benarnya,” ungkap mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman tersebut.

Tidak hanya bahasa lisan, problematika bahasa juga terjadi bahasa tulisan. Sejarawan publik Muhammad Sarip mengungkapkan, dirinya menerima kritik dari kalangan muda mengenai karya bukunya terdahulu.

“Beberapa diksi atau ungkapan di buku saya yang lama ternyata ada yang tidak dipahami oleh kaum muda. Mereka lebih mudah paham ketika disebutkan padanannya dalam bahasa Inggris, ketimbang menggunakan diksi versi KBBI. Makanya pada buku terakhir saya, khususnya _Histori Kutai_ dan _Historipedia Kalimantan Timur_, saya berkolaborasi dengan kawan muda yang sangat paham bahasa komunikasi di kalangan gen Z,” ungkap Sarip.

“Buku yang terbit tahun lalu, Historipedia Kalimantan Timur, bahasanya juga masih terasa milenial, kurang gen Z,” kritik Utih Arum Zahra, founder Kombaca Samarinda yang hadir di SUMBU TENGAH Edisi 3.

Sarip menyatakan, bahasa merupakan satu dari tujuh unsur kebudayaan yang fungsinya untuk mempertahankan keberlangsungan hidup manusia. Bahasa sebagai alat komunikasi bersifat dinamis sesuai perkembangan zaman.

“Dulu di timur Kalimantan ini pernah digunakan bahasa Sanskerta untuk prasasti tertua yang ada di Kepulauan Nusantara. Tapi zaman sekarang bahasa Sanskerta boleh dibilang nyaris punah karena tidak ada lagi penuturnya di sini. Begitu pula bahasa daerah yang juga dinamis karena penuturnya berinteraksi dengan multietnis dan bercampur dengan bahasa Indonesia,” papar Sarip.

Seorang peserta dari guru SD Negeri di Samarinda, Alma Fadilla Putri, membagikan kisahnya ketika mengajar bahasa Indonesia di kelas 2. Dia menerangkan definisi “sahabat” dengan kalimat uraian, siswa banyak yang tidak memahami maknanya.

“Tapi ketika saya bilang sahabat itu _bestie_, anak-anak langsung paham,” ujar Alma.

Pengalaman Alma ditanggapi oleh Duta Baca Remaja Kota Samarinda, Celine Huang. Menurut pelajar SMA ini, realitas komunikasi pada generasi dia umumnya seperti itu.

“Cara yang dilakukan oleh guru dalam menjelaskan pelajaran kepada siswa sekarang memang harus menyesuaikan,” tutur Celine.

“Tapi dilematisnya, guru terikat dengan regulasi pemerintah tentang etika berbahasa dan silabus pendidikan,” tandas Sarip.

Di bagian akhir forum, Cinzy Grace yang seorang ventrilokuis alias seniman ilusi suara menampilkan cerita dongeng dengan bonekanya yang bernama Cinoy. Cinzy mengekspresikan cerita tutur pesut mahakam dengan dialog menarik bersama Celine.

SUMBU TENGAH tidak sekadar menampilkan aksi ventrilokuis, tapi juga menyediakan ruang bicara kepada si penampil sebagaimana narasumber lainnya. Cinzy diberikan kesempatan yang sama untuk merespons opini yang muncul dalam forum, baik dari sesama narasumber maupun dari audiens.

“Ventrilokuis itu berbicara dengan menggunakan media seperti boneka tanpa menggerakkan bibir. Biasanya memakai suara perut,” kata Cinzy.

Bahasa Indonesia telah ditetapkan sebagai bahasa resmi Konferensi Umum UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) pada 2023.

“Penggunaan bahasa itu seperti pakaian. Ada tempatnya masing-masing,” kata Kepala Balai Bahasa Kaltim.

SUMBU TENGAH dengan akronim Solidaritas Usaha Membina Budaya Ucap, Tulis, Ekspresi, Nalar, Gagasan, Ajaran, dan Hikmah pada forum edisi 3 memberikan zine atau buletin cetak SUMBU TENGAH kepada seluruh peserta yang hadir.

wartaikn.com @ 2023