Hasil Penjualan Batu Bara, Kaltim Nol Rupiah (Sebuah Ironi di Jantung Borneo)

Adji Sofyan Effendi
Adji Sofyan Effendi di Labuan Bajo

 342 total views,  342 views today

Di jantung Borneo, di provinsi yang bernama Kalimantan Timur (Kaltim), terhampar sebuah paradoks yang mengoyak nalar.

Sebuah ironi pahit, seolah lelucon kejam yang dipentaskan alam dan birokrasi, di mana kekayaan tak terhingga justru berujung pada kehampaan bagi pemiliknya.

Kita bicara tentang batu bara, si “emas hitam” yang telah mengubah lanskap Kaltim, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara metafisik.

Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap detik, Sungai Mahakam menjadi saksi bisu. Tongkang-tongkang raksasa hilir mudik, mengangkut jutaan ton batu bara dari perut bumi Kaltim menuju pelabuhan-pelabuhan jauh, mengisi pundi-pundi para taipan dan memperkuat kas negara.

Saking padatnya lalu lintas, Mahakam bahkan dijuluki sebagai satu-satunya sungai di dunia yang memiliki lampu lalu lintas. Ini bukan sekadar anekdot, ini adalah manifestasi nyata dari skala eksploitasi yang terjadi.

Kaltim, dalam bayangan para pebisnis batu bara, tak ubahnya surga dunia, tanah Eldorado bagi mereka yang haus keuntungan. Dari korporasi multinasional hingga pemain lokal “kelas koridor”, semua berpesta di atas tanah ini.

Namun, di balik gemerlap transaksi dan angka-angka fantastis, tersembunyi sebuah tragedi yang tak terucap, sebuah jeritan pilu dari bumi dan penghuninya.

Lubang-lubang galian tambang yang menganga, banyak yang tidak ditutup, bahkan telah menelan hampir 50 nyawa anak-anak dalam satu dekade terakhir.
Sebuah tanda hitam dalam lembaran pembangunan, bukti nyata abainya tanggung jawab terhadap lingkungan dan kemanusiaan.

Banjir yang dulu jarang terjadi, kini menjadi santapan sehari-hari saat hujan deras, melumpuhkan kehidupan dan menunjukkan betapa rapuhnya ekosistem Kaltim akibat kerusakan parah.

Di sinilah letak ironi terbesar, yang menampar kesadaran kita dengan keras. Kalimantan Timur, provinsi yang menyumbang kontribusi luar biasa bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui hasil penjualan batu bara, justru tak merasakan sepeser pun dari penjualan itu.

Mari kita hadapkan angka-angka ini pada kenyataan: Dari total Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) nasional, sebesar Rp32,68 triliun dari penjualan batu bara di tahun 2024, Kaltim menyumbang Rp18,52 triliun, atau sekitar 56,67%. Lebih dari separuh kekayaan batu bara Indonesia berasal dari tanah Kaltim.

Tapi apa yang Kaltim dapatkan? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), hanya ada dua pos pendapatan yang tercatat: iuran tetap dan royalti. Dan itupun dengan porsi yang sangat minimalis.

Dari iuran tetap PNBP tambang batu bara yang disumbangkan Kaltim sebesar Rp110 miliar, Kaltim hanya menerima Rp21 miliar, atau sekitar 19,09%.

Dari royalti batu bara yang disumbangkan Kaltim sebesar Rp34,44 triliun, Kaltim hanya mendapatkan Rp8,567 triliun, atau sekitar 24,87%.

Dan yang paling menyakitkan adalah, untuk hasil penjualan secara keseluruhan: Nol Rupiah.

Bagaimana mungkin? Sebuah daerah yang menjadi lumbung kekayaan energi nasional, penopang utama APBN, justru tidak berhak menikmati hasil penjualan komoditasnya sendiri.

Ini bukan sekadar persoalan angka, ini adalah persoalan keadilan. Ini adalah tentang martabat sebuah daerah, dan nasib rakyatnya yang terpinggirkan di tengah gelimang kekayaan alam.

Ironi ini adalah cerminan dari sistem yang timpang, di mana kekayaan ditarik dari akar bumi lokal namun buahnya dinikmati jauh di pusat.

Ini adalah narasi tentang bagaimana kebijakan bisa mengabaikan prinsip keadilan distributif, meninggalkan luka menganga di tanah yang memberi dan di hati rakyat yang menanggung beban.

Kalimantan Timur, dengan segala kekayaannya, seolah menjadi tamu di rumahnya sendiri, menyaksikan hartanya dibawa pergi tanpa bisa berbuat apa-apa.

Mungkin sudah saatnya kita merenung lebih dalam. Apakah kemajuan finansial sebuah negara harus dikorbankan dengan mengorbankan keadilan dan keberlanjutan lokal?

Apakah sistem yang berlaku saat ini benar-benar mencerminkan semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, ataukah justru memperlebar jurang ketimpangan?

Pertanyaan-pertanyaan ini menggantung di udara Sungai Mahakam, bergaung di antara deru mesin tambang, dan memohon sebuah jawaban yang bukan sekadar angka, melainkan keadilan yang nyata bagi Kalimantan Timur.

wartaikn.com @ 2023