235 total views, 235 views today
(Pedang Bermata Dua bagi DBH Migas untuk Provinsi dan Kabko di Kaltim)
Oleh Aji Sofyan Effendi, Ketua ISEI Samarinda
Selat Hormuz, sebuah jalur laut sempit yang menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman, mungkin terdengar jauh bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun keberadaannya sangat krusial bagi stabilitas energi global, termasuk bagi Indonesia.
Sekitar 20% dari total konsumsi minyak dunia atau sekitar 21 juta barel minyak mentah setiap hari melintasi selat ini.
Jadi, apa jadinya jika selat vital ini ditutup? Terutama dalam konteks potensi konflik yang memanas di kawasan Timur Tengah, seperti eskalasi ketegangan antara Iran dan Israel.
Mengapa Selat Hormuz Begitu Penting? (Relevansi Indonesia sebagai Importir)
Timur Tengah adalah jantung produksi minyak dunia. Negara-negara raksasa penghasil minyak seperti Arab Saudi, Irak, Iran, Uni Emirat Arab, dan Kuwait semuanya harus melalui Selat Hormuz untuk mengirimkan minyaknya ke pasar global.
Inilah mengapa Selat Hormuz begitu vital bagi Indonesia, yang, meskipun memiliki beberapa daerah penghasil migas seperti Kalimantan Timur (Kaltim) secara keseluruhan adalah negara importir netto migas.
Status Indonesia sebagai importir migas inilah yang mendorong keputusan keluarnya Indonesia dari keanggotaan OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) pada tahun 2016, karena Indonesia lebih banyak mengimpor daripada mengekspor minyak.
Sebelum eskalasi konflik Iran-Israel, data menunjukkan bahwa sebagian besar impor minyak mentah Indonesia berasal dari negara-negara Timur Tengah.
Meskipun Indonesia memiliki sumber minyak domestik, namun produksinya terus menurun. Pada tahun 2023, produksi minyak mentah Indonesia diperkirakan sekitar 612 ribu barel per hari, sementara kebutuhan konsumsi kita jauh di atas itu, mencapai sekitar 1,6 juta barel per hari. Artinya, ada defisit sekitar 988 ribu barel per hari yang harus dipenuhi melalui impor.
Skenario Penutupan dan Dampaknya bagi Indonesia (Negara Importir)
Jika Selat Hormuz ditutup, entah karena blokade militer atau insiden besar lainnya, dampaknya akan terasa secara instan dan masif. Harga minyak dunia dipastikan akan melonjak tajam.
Sebagai ilustrasi, pada awal tahun 2024, sebelum eskalasi konflik Iran-Israel mencapai puncaknya, harga minyak Brent berkisar di angka $75-$80 per barel.
Dalam skenario penutupan Selat Hormuz, para analis memperkirakan harga bisa meroket hingga di atas $ 150 bahkan $ 200 per barel dalam waktu singkat.
Bagi Indonesia sebagai negara importir, ini adalah pukulan telak ganda. Kenaikan harga minyak berarti:
1. Beban Impor Membengkak:
Biaya untuk memenuhi kebutuhan migas domestik dari pasar internasional akan melonjak drastis.
Pada tahun 2023, impor minyak mentah Indonesia mencapai sekitar 300 ribu barel per hari, dengan porsi terbesar dari Arab Saudi dan Irak. Jika harga naik 100%, maka nilai impor akan berlipat ganda, menguras cadangan devisa negara.
2. Beban Subsidi Energi Bertambah:
Kenaikan harga migas global akan memicu kenaikan harga bahan bakar di dalam negeri. Untuk menjaga daya beli masyarakat dan inflasi, pemerintah kemungkinan besar harus memperbesar subsidi energi.
Anggaran negara yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur atau sektor lain, terpaksa harus disedot untuk menstabilkan harga bahan bakar.
Bayangkan saja, setiap kenaikan $10 per barel pada harga minyak dunia, diperkirakan akan menambah beban subsidi energi Indonesia hingga triliunan rupiah per tahun.
Selain itu, penutupan Selat Hormuz juga akan mengganggu rantai pasok migas global. Kapal-kapal tanker harus mencari jalur alternatif yang lebih jauh dan memakan waktu lebih lama, seperti memutar melalui Tanjung Harapan di Afrika Selatan.
Ini tidak hanya meningkatkan biaya logistik, tetapi juga berpotensi menyebabkan kelangkaan pasokan migas di pasar. Jika jalur dari Timur Tengah terputus, Indonesia harus berburu pasokan dari sumber lain yang mungkin lebih mahal atau kapasitasnya terbatas, memperparah tekanan pada APBN.
Analisa Dampak pada Potensi Penerimaan DBH SDA Migas Kalimantan Timur: Pedang Bermata Dua dalam Konteks Negara Importir.
Inilah titik krusial. Posisi Kaltim sebagai provinsi penghasil migas dalam negara importir menjadi sangat menarik dan kompleks.
Kaltim adalah salah satu provinsi penghasil migas terbesar di Indonesia, dengan kontribusi signifikan terhadap produksi minyak dan gas nasional.
Pada tahun 2023, kontribusi produksi minyak bumi Kaltim diperkirakan mencapai sekitar 20-25 % dari total produksi nasional, dan produksi gas bumi lebih tinggi lagi, di atas 30 %.
Penerimaan Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam (SDA) Migas bagi daerah penghasil seperti Kaltim sangat bergantung pada dua faktor utama: volume produksi migas dan harga minyak/gas dunia.
1.Dampak pada Volume Produksi:
Jika penutupan Selat Hormuz menyebabkan kelangkaan pasokan global dan harga minyak melambung, secara teori ini bisa menjadi insentif bagi peningkatan produksi di dalam negeri, termasuk di Kaltim.
Pemerintah pusat mungkin akan mendorong percepatan eksplorasi dan produksi di wilayah-wilayah yang memiliki potensi. Namun, perlu dicatat bahwa peningkatan produksi migas bukanlah hal instan; butuh waktu bertahun-tahun, investasi besar, dan teknologi canggih.
Oleh karena itu, dampak langsung terhadap volume produksi Kaltim dalam jangka pendek (misalnya, dalam 1-2 tahun) mungkin tidak signifikan.
2.Dampak pada Harga Migas Dunia: Potensi Kenaikan DBH (namun dengan catatan)
Inilah aspek “pedang bermata dua” bagi Kaltim. Jika harga minyak dunia melonjak dua atau tiga kali lipat akibat penutupan Selat Hormuz, maka secara otomatis potensi penerimaan DBH SDA Migas Kaltim juga akan meningkat drastis. DBH Migas dihitung berdasarkan persentase dari penerimaan migas setelah dikurangi biaya-biaya tertentu. Dengan asumsi skema bagi hasil tetap, maka lonjakan harga berarti lonjakan pendapatan bagi Kaltim.
Sebagai gambaran, dalam APBN 2024, asumsi harga minyak ICP (Indonesia Crude Price) rata-rata ditetapkan sekitar $82 per barel. Jika skenario Selat Hormuz tertutup membuat harga melonjak hingga $150-$200 per barel, maka DBH Migas yang diterima Kaltim bisa meningkat signifikan, bahkan berlipat ganda.
Pada tahun 2023, estimasi DBH SDA Migas yang diterima Kaltim mencapai angka triliunan rupiah. Kenaikan harga ini bisa menambah ratusan miliar hingga triliunan rupiah lagi ke kas daerah Kaltim.
Namun, potensi kenaikan DBH ini datang dengan beban yang sangat berat bagi perekonomian nasional secara keseluruhan sebagai negara importir, karena beberapa hal:
1. Kenaikan DBH Kaltim “ditukar” dengan Penderitaan Nasional: Peningkatan DBH Kaltim ini sejatinya merupakan konsekuensi dari lonjakan harga migas global yang menyebabkan beban subsidi dan impor negara membengkak sangat parah.
Artinya, dana yang masuk ke kas daerah Kaltim ini berasal dari “penderitaan” APBN secara keseluruhan dan tekanan inflasi yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk di Kaltim itu sendiri.
2. Kestabilan Ekonomi Nasional Terancam: Jika harga migas terlalu tinggi, pemerintah pusat mungkin akan kesulitan menjaga stabilitas fiskal. Prioritas utama adalah menstabilkan harga bahan bakar dan menjaga ketersediaan pasokan.
Kebijakan ini bisa saja mempengaruhi skema bagi hasil di kemudian hari atau menyebabkan tekanan anggaran yang sangat besar sehingga pembangunan di sektor lain terganggu.
3. Volatilitas Anggaran: Meskipun ada potensi kenaikan penerimaan, lonjakan harga yang ekstrem juga menciptakan ketidakpastian. Anggaran daerah menjadi sangat bergantung pada fluktuasi harga global, yang bisa menjadi pedang bermata dua jika harga kembali anjlok setelah periode krisis berlalu.
4. Dampaknya terhadap DBH Migas Kabupaten/Kota di Kaltim, khususnya Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Balikpapan dan Kota Bontang.
Episentrum penutupan Selat Hormuz, Bukan hanya bagi ekspor import migas Provinsi Kaltim saja, tapi juga berdampak terhadap beberapa kabupaten/kota (kabko) di Kaltim, seperti Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai daerah penghasil migas, khususnya di Blok Mahakam dan Blok migas lainnya, dan dua daerah Pengolah Migas di Kaltim yaitu Kota Balikpapan dan Bontang.
Sebagai daerah penghasil migas, dengan adanya potensi penutupan Selat Hormuz, maka biaya logistik migas semakin tinggi, sehingga harga ICP akan juga tinggi, potensi penerimaan semakin besar melalui DBH Migas.
Namun karena Kabupaten Kutai Kartanegara berada pada salah satu kabupaten di Provinsi Kaltim, imbas beban sebagai importir migas menanggung beban nasional untuk menutup slot defisit migas nasional.
Mengingat mekanisme ekspor impor migas ditangani oleh negara, maka Kabupaten Kutai Kartanegara juga menanggung beban itu, Surplus Migas sekaligus Defisit Migas.
Bagaimana dengan Kota Balikpapan dan Bontang? Dua kota ini adalah daerah pengolah migas.
Pertamina beserta mitra pengolah migasnya, tentu akan mengeluarkan biaya relatif besar karena Cost Of Producton menjadi lebih mahal, kilang-kilang migas RDMP di Kota Balikpapan dan Bontang, akan menanggung beban cost dan logistik yang meningkat, sehingga biaya akhir migas dalam produk akhir seperti BBM baik untuk darat, laut maupun udara, akan berpotensi naik, subsidi negara akan membengkak, menguras cadangan valuta asing, inflasi berpotensi akan naik.
Mitigasi dan Tantangan ke Depan
Meskipun skenario penutupan Selat Hormuz adalah mimpi buruk, Indonesia tidak bisa berdiam diri. Diversifikasi sumber pasokan migas menjadi kunci. Mencari mitra dagang baru di luar Timur Tengah, seperti dari Amerika Serikat atau Afrika, perlu terus diupayakan. Namun, hal ini tentu bukan perkara mudah mengingat jarak dan biaya logistik yang lebih tinggi.
Peningkatan produksi migas domestik juga menjadi prioritas, meskipun sulit untuk mencapai swasembada.
Upaya eksplorasi dan eksploitasi lapangan-lapangan migas baru harus digenjot untuk mengurangi ketergantungan pada impor.
Data menunjukkan bahwa cadangan minyak terbukti Indonesia saat ini sekitar 2,4 miliar barel, yang berarti dengan tingkat produksi saat ini, cadangan tersebut hanya cukup untuk kurang dari 10 tahun ke depan.
Ini adalah tantangan besar yang harus dihadapi. Bagi Kaltim, ini berarti menjaga dan meningkatkan produksi di tengah tantangan lapangan yang semakin tua.
Terakhir, efisiensi energi dan pengembangan energi terbarukan adalah solusi jangka panjang yang tidak bisa ditawar lagi.
Dengan mengurangi konsumsi migas dan beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan, Indonesia akan menjadi lebih tangguh menghadapi gejolak pasokan dan harga di pasar global.
Data menunjukkan bahwa bauran energi terbarukan dalam total energi primer Indonesia masih relatif kecil, sekitar 12-13% pada tahun 2023, jauh dari target 23% pada tahun 2025. Ini menunjukkan pekerjaan rumah yang besar di depan.
Kesimpulan
Penutupan Selat Hormuz bukan hanya isu geopolitik, tetapi juga ancaman nyata bagi ketahanan energi Indonesia sebagai negara importir. Dampak ekonomi yang ditimbulkan, mulai dari kenaikan harga BBM, pembengkakan subsidi, hingga potensi kelangkaan pasokan, sangat serius.
Bagi daerah penghasil migas seperti Kalimantan Timur, penutupan ini memang berpotensi meningkatkan penerimaan DBH SDA Migas secara signifikan karena lonjakan harga global.
Namun, peningkatan ini harus dilihat sebagai “keuntungan” yang ironis dan sementara, karena diperoleh di tengah krisis energi nasional yang lebih besar.
Kenaikan DBH Kaltim akan diiringi dengan tekanan luar biasa pada APBN dan daya beli masyarakat di seluruh Indonesia, termasuk warga Kaltim sendiri.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah pusat dan daerah untuk memahami risiko ini secara holistik.
DBH yang meningkat harus digunakan secara bijaksana untuk pembangunan berkelanjutan dan diversifikasi ekonomi daerah, agar tidak terlalu bergantung pada pendapatan migas yang fluktuatif.
Langkah strategis seperti diversifikasi pasokan, peningkatan produksi domestik, dan pengembangan energi terbarukan adalah kunci untuk meminimalisir dampak negatif dan membangun ketahanan energi Indonesia secara keseluruhan.
Selat Hormuz mungkin jauh, tetapi efek riaknya bisa sangat terasa di dapur setiap rumah tangga di Indonesia, bahkan hingga ke kas daerah penghasil migas, dengan implikasi yang kompleks.