870 total views, 2 views today
Samarinda, WARTAIKN. COM – Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wahyu Catur Adinugroho mengatakan, luasan kawasan pada lahan hutan mangrove dan lahan gambut yang dimiliki Indonesia, memiliki potensi besar dalam melakukan mitigasi perubahan iklim melalui konservasi dan restorasi.
“Negara kita memiliki 3,4 juta hektare (ha) hutan mangrove dan 13,4 juta ha lahan gambut. Jadi, walaupun Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang emisi, namun karena luasnya hutan mangrove dan lahan gambut, maka potensi mitigasi juga besar,” ujarnya dalam rilis yang dikirim ke Samarinda, Rabu.
Ini karena hasil penelitian gabungan menemukan bahwa ekosistem gambut dan mangrove dapat menjadi kunci untuk memenuhi target pengurangan emisi bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Hasil temuan menyebutkan, lebih dari setengah emisi karbon dari penggunaan lahan di Asia Tenggara, dapat dilakukan mitigasi melalui konservasi dan restorasi pada lahan gambut dan mangrove.
Melestarikan dan merestorasi ekosistem gambut dan mangrove yang memiliki cadangan karbon besar di Asia Tenggara, dapat memitigasi sekitar 770 megaton CO2 ekuivalen (MtCO2e) per tahun.
Hasil penelitian yang baru saja diterbitkan di Jurnal Nature Communications ini, melibatkan peneliti dari Nanyang University Singapura, James Cook University Australia, Nanyang Technological University Singapura.
Melibatkan pula Queensland University Australia, Institut Pertanian Bogor, BRIN, Kementerian Kehutanan, dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) yang merupakan organisasi nirlaba berbasis ilmiah, serta beberapa peneliti lain.
“Indonesia merupakan salah satu negara dengan lahan gambut tropis dan hutan mangrove terluas di dunia,” kata Wahyu.
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim yang juga salah satu kontributor dalam penelitian, yakni Haruni Krisnawati menyebutkan, kedua ekosistem tersebut memiliki karakteristik fisik dan ekologi yang serupa.
“Terutama tanahnya yang jenuh air serta terbatasnya oksigen dalam jangka waktu lama. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya tingkat dekomposisi bahan organik, sehingga ekosistem ini menjadi penyerap karbon paling efektif di bumi, bahkan menyimpan sejumlah besar karbon di tanah,” ujarnya.
Selain itu, lebih dari 90 persen cadangan karbon di kedua lahan basah ini tersimpan di tanah, bukan pada berbagai tumbuhan (vegetasi) di atasnya.
“Artinya, sebagian besar karbon yang tersimpan bersifat ‘irrecoverable’ atau rentan terhadap pelepasan karbon akibat aktivitas manusia, namun jika hilang, tidak mudah dipulihkan,” katanya.