1,188 total views, 2 views today
Oleh Dr. Muhammad Ikbal., MSA., CSRA., CIAS (Pemerhati Keuangan Negara, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawaraman Samarinda)
Samarinda, WARTAIKN.COM – Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 merupakan kebijakan fiskal signifikan yang patut dianalisis secara kritis.
Kebijakan ini diharapkan meningkatkan penerimaan negara, sejalan dengan upaya pemerintah untuk membiayai proyek-proyek strategis nasional, seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan berbagai program sosial.
Namun, meski peningkatan tarif PPN dapat memperkuat basis pendapatan negara, kebijakan ini berpotensi memicu berbagai dampak negatif bagi dunia usaha dan masyarakat secara umum.
Teori ekonomi menunjukkan bahwa peningkatan pajak konsumsi cenderung membebani konsumen akhir, yang pada gilirannya mempengaruhi pola konsumsi dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam konteks badan usaha, baik korporasi maupun koperasi, kenaikan PPN dapat berdampak pada struktur harga barang dan jasa.
Usaha besar mungkin lebih fleksibel dalam mengatasi kenaikan pajak karena mereka memiliki ruang gerak lebih luas untuk menyerap biaya tambahan atau meneruskannya kepada konsumen, namun dalam pasar yang sangat kompetitif, peningkatan harga ini berisiko menurunkan permintaan.
Badan usaha kecil dan menengah (UKM) serta koperasi, yang memiliki margin keuntungan lebih tipis, mungkin akan lebih rentan.
Dalam situasi seperti ini, mereka dapat kehilangan daya saing, terutama jika pasar mereka sangat sensitif terhadap perubahan harga. Sejumlah literatur, seperti studi dari OECD (2021), menunjukkan bahwa kenaikan PPN di negara berkembang sering kali memperberat beban UKM yang tidak memiliki infrastruktur pajak yang memadai.
Koperasi, yang sering kali berfokus pada sektor ekonomi kerakyatan, bisa menghadapi tantangan serius.
Koperasi berperan dalam memberikan layanan kepada anggotanya dengan harga terjangkau, sedangkan setiap peningkatan biaya, termasuk PPN, akan mengurangi kemampuan koperasi untuk menjalankan perannya secara optimal.
Literasi pajak yang terbatas di kalangan pelaku koperasi juga dapat memperparah situasi ini. Studi tentang kenaikan PPN di negara-negara Eropa menunjukkan bahwa dampak terbesar dirasakan oleh entitas kecil yang beroperasi di sektor informal atau semi-formal, seperti koperasi dan usaha kecil perorangan.
Misalnya, pada kasus Yunani ketika PPN dinaikkan dari 19 persen menjadi 23 persen pada 2010, kemudian terjadi penurunan daya beli yang signifikan, sehingga banyak koperasi dan UKM terpaksa menutup operasinya atau mengurangi aktivitasnya secara drastis.
Swedia juga memiliki pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 25 persen, Perancis memiliki tingkat pajak penghasilan yang bisa mencapai 45 persen dan PPN sebesar 20 persen, lantas di Belanda dengan tarif pajak penghasilan tertinggi mencapai 49,5 persen dan PPN di angka 21 persen.
Ketimpangan Ekonomi
Kenaikan PPN juga berpotensi memperburuk ketimpangan ekonomi, terutama bagi masyarakat
dengan pendapatan rendah.
PPN adalah pajak regresif, yakni proporsi beban pajak lebih besar dirasakan oleh kelompok dengan pendapatan rendah dibandingkan kelompok pendapatan tinggi.
Hal ini telah diidentifikasi oleh banyak studi, termasuk laporan dari Bank Dunia (2020), yang menyoroti bahwa peningkatan pajak konsumsi seperti PPN di negara berkembang sering memperdalam jurang ketimpangan ekonomi.
Di Indonesia yang memiliki tingkat ketimpangan cukup tinggi, kebijakan ini berisiko memperparah kondisi tersebut, kecuali diiringi dengan kebijakan kompensasi yang kuat, seperti bantuan sosial yang lebih terarah.
Selain itu, kenaikan PPN dapat memengaruhi inflasi, terutama jika tidak diimbangi dengan
kebijakan moneter yang tepat.
Berdasarkan pengalaman negara-negara lain, seperti Jepang yang menaikkan PPN dari 8 persen menjadi 10 persen pada 2019, inflasi jangka pendek biasanya meningkat setelah kenaikan tarif pajak konsumsi.
Meskipun inflasi ini mungkin bersifat sementara, namun dampaknya terhadap daya beli masyarakat tetap signifikan.
Di Indonesia, inflasi yang disebabkan oleh kenaikan PPN dapat mengganggu stabilitas harga kebutuhan pokok, sehingga memperberat beban masyarakat miskin.
Secara keseluruhan, meskipun kenaikan PPN menjadi 12 persen dan dapat mendukung penerimaan
negara, namun dampak terhadap badan usaha, koperasi, dan masyarakat harus dikelola dengan hati-hati.
Pemerintah perlu mempertimbangkan mekanisme mitigasi yang efektif, seperti pemberian insentif pajak bagi UKM atau program bantuan langsung untuk masyarakat berpendapatan rendah, guna mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul.
Tanpa kebijakan pendamping yang tepat, kenaikan ini berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan ketimpangan, dan menekan daya beli masyarakat.
Contoh dari negara lain menunjukkan pentingnya kesiapan yang matang dalam mengimplementasikan kebijakan fiskal semacam ini.