754 total views, 298 views today
Oleh: Aji Sofyan Effendi (Dosen FEB Unmul/Ketua ISEI Samarinda-Korwil ISEI Kaltim)
Wacana pemindahan Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur dari Samarinda ke Ibu Kota Nusantara (IKN) mencuat kembali sebagai isu yang menarik sekaligus kompleks. Ide ini mengemuka dalam forum-forum strategis, melampaui sekadar perubahan alamat administratif.
Ini adalah persoalan multi-aspek yang menyentuh fondasi ekonomi, sosial, politik, bahkan filosofi kehidupan masyarakat Kalimantan Timur (Kaltim).
Dalam setiap langkah besar peradaban, selalu ada dua narasi yang berhadapan: narasi masa lalu yang telah mapan dan narasi masa depan yang masih menjadi janji.
Samarinda dengan sejarahnya sebagai pusat pemerintahan dan denyut nadi ekonomi, mewakili narasi yang telah teruji. Sementara itu, IKN atau Kota Nusantara, sebuah kota yang lahir dari gagasan besar, merepresentasikan narasi ambisius akan masa depan Indonesia.
Pertanyaannya, apakah narasi masa depan ini juga akan menjadi narasi masa depan bagi Kaltim?
Dimensi Kompleksitas: Lebih dari Sekadar Perpindahan Kekuasaan
Memindahkan ibu kota provinsi bukanlah sekadar memindahkan kantor gubernur. Ini adalah proses pergeseran ekosistem kehidupan yang telah terjalin selama puluhan tahun. Setidaknya ada tiga dimensi utama yang perlu dikaji secara mendalam.
1. Dimensi Administratif dan Hukum
Secara hukum dan administratif, posisi IKN saat ini memiliki keunikan tersendiri. IKN diselenggarakan berdasarkan UU No 3 tahun 2022 dan UU No 21 Tahun 2023. Ini adalah UU yang mengatur pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia dari Jakarta ke wilayah yang telah ditetapkan yaitu di Kalimantan Timur.
Namun demikian, keunikannya adalah saat ini penyelenggaraan IKN adalah oleh Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN), sebuah lembaga setingkat kementerian dengan kewenangan terbatas, tidak dalam struktur pemerintahan daerah yang memiliki gubernur dan DPRD.
Jika Ibu Kota Kaltim dipindahkan ke IKN, maka secara logis IKN akan memiliki dua “tuan”: Otorita IKN dan Pemerintah Provinsi Kaltim. Tumpang tindih kewenangan ini berpotensi menciptakan ketidakpastian.
Untuk memecahkan masalah ini, ada dua opsi yang bisa dipertimbangkan:
Opsi 1: IKN menjadi bagian administratif Kaltim. Opsi ini mensyaratkan IKN diubah statusnya dari “otonom” di bawah Otorita menjadi wilayah yang sepenuhnya dikelola oleh Pemerintah Provinsi Kaltim, layaknya sebuah kota atau kabupaten. Ini akan memerlukan perubahan Undang-Undang IKN.
Opsi 2: IKN menjadi provinsi baru. Seperti DKI Jakarta yang memiliki gubernur dan DPRD sendiri, IKN dapat diproyeksikan menjadi provinsi tersendiri. Namun, hal ini akan memecah wilayah Kaltim dan berpotensi mengubah peta politik dan ekonomi daerah secara radikal.
2. Dimensi Ekonomi dan Anggaran
Pola relasi keuangan antara pemerintah pusat dan daerah akan mengalami perubahan fundamental jika ibu kota pindah. Saat ini, Samarinda dan Kutai Kartanegara adalah dua dari tiga daerah di Kaltim yang menjadi kontributor terbesar pendapatan asli daerah (PAD). Sementara itu, kontribusi utama PPU masih bersumber dari sektor primer, seperti perkebunan.
Pola DBH (Dana Bagi Hasil): Kehadiran IKN di PPU akan mengubah pola distribusi DBH. Sektor ekonomi baru di IKN akan menghasilkan pajak dan retribusi yang akan menjadi bagian dari PAD Kaltim, yang berpotensi meningkatkan kapasitas fiskal provinsi.
Namun, ada kekhawatiran bahwa anggaran pembangunan akan lebih banyak dialokasikan ke IKN, sementara daerah lain di Kaltim, termasuk Samarinda, harus bersaing mendapatkan perhatian.
Ketergantungan APBN: Pembangunan IKN saat ini masih sangat bergantung pada APBN, dengan realisasi investasi swasta yang masih sangat minim.
Hingga akhir 2024, investasi di IKN memang belum signifikan, dengan realisasi investasi swasta dan BUMN masih di bawah target yang dicanangkan.
Perpindahan ibu kota Kaltim ke IKN di tengah kondisi ini bisa menjadi beban finansial tambahan bagi APBD provinsi.
3. Dimensi Sosial dan Politik
Secara politis, perpindahan ibu kota Kaltim akan menjadi isu sensitif. Samarinda telah menjadi pusat kegiatan eksekutif dan legislatif selama beberapa dekade. Relasi sosial, jaringan bisnis, dan pola interaksi masyarakat telah terbentuk di kota ini.
Perpindahan ini akan menggeser pusat gravitasi politik Kaltim, yang secara fundamental akan mengubah dinamika kekuasaan dan alokasi sumber daya.
Selain itu, perpindahan ini juga menyangkut filosofi ruang dan tempat. Samarinda bukan hanya ibu kota, melainkan juga simbol perjuangan dan keberhasilan Kaltim.
Memindahkan ibu kota ke IKN yang sedang dibangun dari nol seakan mengesampingkan narasi historis yang telah terukir. Ini bukan sekadar memindahkan fasilitas fisik, tapi juga memindahkan jiwa suatu provinsi.
Plus-Minus: Dua Sisi Mata Uang yang Sama
Sama seperti perpindahan Jakarta ke Kaltim, pemindahan ibu kota Kaltim dari Samarinda ke IKN memiliki sisi positif dan negatif.
Sisi Positif:
1. Sinergi Pembangunan: Dengan ibu kota provinsi berada di pusat pemerintahan nasional, koordinasi antara pemerintah provinsi dan pusat akan menjadi lebih efisien.
2. Percepatan Pembangunan: Kaltim akan menjadi provinsi yang sangat strategis, dengan fasilitas dan infrastruktur yang lebih modern, sehingga berpotensi menarik lebih banyak investasi.
3. Pemerataan Pembangunan: PPU akan mengalami lonjakan pertumbuhan ekonomi dan sosial yang signifikan, membantu mengurangi kesenjangan dengan kota-kota lain.
Sisi Negatif:
1. Tumpang Tindih Kewenangan: Selama Otorita IKN masih ada, akan selalu ada potensi konflik kewenangan
2. Beban Anggaran: Pembangunan infrastruktur baru di IKN akan memakan anggaran besar yang berpotensi mengorbankan alokasi dana untuk daerah lain di Kaltim.
3. Pergeseran Identitas: Samarinda, yang telah lama menjadi simbol Kaltim, berisiko kehilangan peran sentralnya, yang bisa berdampak pada identitas dan kebanggaan kolektif.
Epilog: Kalkulasi Filosofis
Keputusan untuk memindahkan ibu kota provinsi bukanlah persoalan kalkulasi politik semata. Ini adalah pertanyaan filosofis yang menanyakan, “Siapa kita dan ke mana kita akan pergi ?”
Apakah Kaltim akan terus membangun di atas fondasi sejarahnya di Samarinda, ataukah ia akan melompat ke masa depan yang belum teruji di IKN?
Samarinda adalah cerita yang telah tertulis, sementara IKN adalah babak baru yang baru dimulai. Keduanya memiliki makna dan peran yang krusial. Memutuskan mana yang akan menjadi ibu kota adalah tentang memilih narasi yang akan membimbing Kaltim di masa depan.
Sebuah keputusan yang menuntut kearifan mendalam dan visi multi-generasi, bukan sekadar respon terhadap dinamika politik sesaat. (ASE)