1,041 total views, 92 views today
Oleh: Aji Sofyan Effendi (Dosen FEB Unmul Samarinda, Ketua ISEI Samarinda – Korwil Kaltim)
Dalam banyak kesempatan, Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon, selalu menjelaskan bahwa kekayaan Indonesia bukan hanya SDA seperti emas, migas, nikel, sawit, batu bara, tapi Kebudayaan adalah salah satu aset indonesia.
Demikian penjelasan menteri dalam berbagai sambutan, di banyak tempat. Hal ini harus kita respon dan operasionalkan secara optimal.
Selama ini, kebudayaan Indonesia sering kali hanya ditempatkan sebagai aset visual yang memanjakan mata, menjadi tontonan publik, dan menghiasi platform media sosial sebagai bukti perjalanan wisata.
Kekayaan seni dan tradisi kita, mulai dari tarian, musik, hingga mode lokal, seolah berhenti pada nilai estetika dan popularitas semata.
Namun, di balik keindahan yang disaksikan, ada potensi ekonomi besar yang belum diukur dan diakui secara resmi dalam kerangka pembangunan daerah.
Sudah saatnya kita mengubah paradigma, dari sekadar menikmati kekayaan budaya menjadi mengkuantifikasinya sebagai salah satu pilar strategis dalam perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Indonesia, dengan ribuan item budaya yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, memiliki peluang emas untuk memperkaya neraca daerah.
Saat ini, PDRB daerah sering kali terlalu bergantung pada eksploitasi kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) seperti batu bara, minyak bumi, nikel, atau kelapa sawit.
Ketergantungan ini menciptakan risiko ekonomi yang besar, termasuk fluktuasi harga komoditas global dan isu keberlanjutan lingkungan.
Paradigma ini harus bergeser. Daerah-daerah di Indonesia sudah saatnya mulai mempersiapkan diri dengan cara membangun kekuatan ekonomi berbasis aset yang tak akan pernah habis: budaya.
Mengapa PDRB Sektor Kebudayaan Penting dan Strategis?
Perhitungan PDRB adalah cerminan aktivitas ekonomi di suatu daerah, yang mencakup semua nilai tambah dari barang dan jasa yang dihasilkan. Selama ini, sektor kebudayaan masih sulit diukur secara kuantitatif. Padahal, jika kita melihat lebih dalam, aktivitas ekonomi dari sektor ini sangat nyata.
Bayangkan satu pertunjukan tari tradisional. Di dalamnya ada aktivitas ekonomi yang melibatkan penari, musisi, perajin kostum, pengelola panggung, tim tata rias, hingga penjual suvenir dan makanan di sekitar lokasi.
Semua ini adalah roda penggerak ekonomi mikro dan makro. Sayangnya, nilai-nilai ini sering kali terdistribusi ke sektor lain (misalnya, sektor jasa atau industri kreatif) dan tidak terhimpun secara utuh dalam satu kategori tunggal yang disebut “budaya”.
Dengan menciptakan PDRB Sektor Kebudayaan, kita dapat memperoleh beberapa keuntungan krusial
1. Pengakuan Resmi dan Kebijakan Berbasis Data: Data kuantitatif akan memberikan bukti konkret tentang kontribusi ekonomi sektor budaya.
Hal ini menjadi dasar kuat bagi pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran, membuat kebijakan yang lebih terarah, dan memprioritaskan program-program pengembangan budaya yang relevan
2. Peningkatan Potensi Pendapatan Daerah: Ketika budaya diukur, ia dapat dikelola layaknya sektor ekonomi lainnya. Potensi pendapatan daerah dapat ditingkatkan melalui berbagai mekanisme, seperti pementasan berbayar, promosi festival budaya, pengembangan industri kreatif berbasis kearifan lokal, dan ekspor produk budaya.
3. Mendorong Partisipasi dan Kesejahteraan Pelaku Budaya: Pengukuran ekonomi ini akan memberikan insentif bagi para pelaku seni dan budaya.
Mereka tidak lagi hanya dianggap sebagai pewaris tradisi, tetapi juga sebagai motor ekonomi yang layak mendapatkan imbalan yang setara. Hal ini akan mendorong regenerasi, profesionalisme, dan kesejahteraan di kalangan seniman, perajin, dan budayawan.
Menuju Perumusan PDRB Sektor Kebudayaan
Perjalanan menuju pengakuan budaya dalam PDRB bukanlah hal mudah. Dibutuhkan kerja sama multi-disiplin yang serius antara para pakar kebudayaan, ekonom, dan sosiolog.
Para pakar kebudayaan perlu merumuskan klasifikasi yang jelas untuk item-item budaya yang dapat diukur, mulai dari seni pertunjukan, warisan takbenda, hingga produk-produk kreatif.
Sementara itu, para ekonom harus membangun metodologi yang tepat untuk mengukur nilai tambah dari setiap aktivitas tersebut, mulai dari perhitungan biaya produksi, pendapatan, hingga dampak multiplier-nya terhadap sektor lain.
Sosiolog akan berperan dalam memastikan bahwa proses ini tidak hanya berfokus pada nilai ekonomi semata, tetapi juga mempertimbangkan nilai sosial, inklusivitas, dan keberlanjutan budaya itu sendiri.
Kaltim, Menjadi Pionir atas perhitungan PDRB Sektor Budaya
Kaltim beserta 10 kabupaten dan kota, perlu mempersiapkan SDM untuk duduk bersama merumuskan PDRB sektor budaya ini karena sebagai daerah uji coba, mengingat IKN Nusantara juga sudah berada si Kaltim diharapkan perhitungan ini dapat menjadi inspirasi daerah lain untuk melakukan hal yang sama.
BPS RI dan BPS daerah segera mengambil langkah-langkah konkret agar hal ini dapat menjadi prioritas dalam Rencana Kerja Tindak Lanjut pada tahun-tahun yang akan datang
Sudah saatnya kaltim, melepaskan diri dari ketergantungan SDA menjadi lebih terdiversifikasi ekonominya melalui budaya, sebagaimana awal sejarah Nusantara.
Pada akhirnya, mengkuantifikasi budaya dalam PDRB bukan sekadar urusan angka. Ini adalah langkah strategis untuk memperkuat pondasi ekonomi kita dengan aset yang paling otentik dan tak tergantikan budaya Nusantara.
Ini adalah saatnya bagi kita untuk melihat keindahan budaya bukan hanya sebagai kenangan manis yang dibawa pulang dari perjalanan wisata, melainkan sebagai fondasi kuat untuk masa depan yang lebih sejahtera dan berkelanjutan bagi setiap daerah di Indonesia. (ASE)