Tarif 32% Mr.Trump. Apa Dampaknya Terhadap Perekonomian Indonesia dan Kalimantan Timur?

Aji
Aji Sofyan Effendi

 376 total views,  376 views today

Oleh : DR. Aji Sofyan Effendi,SE,MSi. (Dosen FEB Unmul/ Ketua ISEI – Kaltim)

Kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh pemerintahan Donald Trump di Amerika Serikat terhadap produk-produk dari Indonesia, telah diumumkan oleh Trump secara langsung menyebut angka “32%”, bagi Produk-produk Indonesia ke USA, telah menimbulkan riak signifikan dalam perekonomian domestik.

Angka “32%” dalam judul ini menjadi metafora untuk potensi penurunan daya saing atau pangsa pasar yang dapat dialami produk Indonesia akibat hambatan tarif tersebut, sebuah persentase yang bisa menjadi titik balik krusial dalam pertimbangan strategis.

Analisis ini akan menguraikan dampak kebijakan tersebut secara naratif ilmiah, dilengkapi dengan data kuantitatif yang relevan.

Amerika Serikat merupakan salah satu mitra dagang terbesar bagi Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, nilai ekspor non-migas Indonesia ke AS pada tahun-tahun sebelum kebijakan tarif ini berada pada kisaran US$ 15-20 miliar per tahun.

Kebijakan tarif, yang umumnya berkisar antara 10% hingga 25% untuk beberapa kategori produk, secara inheren meningkatkan biaya produk Indonesia di pasar AS, sehingga mengurangi daya saingnya dibandingkan produk dari negara lain atau produksi domestik AS.

Jika diasumsikan rata-rata kenaikan tarif yang signifikan, bahkan kenaikan 5% saja dapat berujung pada potensi penurunan permintaan ekspor hingga puluhan persen jika elastisitas permintaan tinggi. Angka “32%” dapat menjadi estimasi pesimis untuk penurunan volume ekspor di sektor-sektor yang paling rentan.

Sektor-Sektor yang Terdampak Signifikan:

Beberapa sektor kunci ekspor Indonesia yang paling rentan terhadap kebijakan tarif AS meliputi:

1.Tekstil dan Produk Tekstil (TPT):

Indonesia adalah salah satu eksportir TPT terbesar ke AS. Data menunjukkan bahwa nilai ekspor TPT ke AS dapat mencapai US$ 4-6 miliar per tahun. Kenaikan tarif di sektor ini akan langsung berdampak pada pabrik-pabrik tekstil dan garmen di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Penurunan permintaan sebesar “32%” di sektor ini akan berarti hilangnya miliaran dolar dan ribuan pekerjaan.

2.Produk Karet dan Barang dari Karet:

Indonesia adalah produsen karet alam terbesar kedua di dunia. Produk turunan karet seperti ban dan sarung tangan karet memiliki pangsa pasar signifikan di AS.

Nilai ekspor produk karet ke AS bisa mencapai US$ 1-2 miliar per tahun. Tarif akan memukul industri ini, terutama di Sumatera dan Kalimantan yang merupakan sentra produksi karet.

3.Produk Kayu dan Furnitur:

Furnitur kayu, produk kertas, dan panel kayu lapis adalah komoditas ekspor penting lainnya. Ekspor furnitur ke AS bisa mencapai US$ 1-1.5 miliar per tahun. Kebijakan tarif akan membebani industri mebel dan pengolahan kayu, yang banyak tersebar di Jawa dan beberapa wilayah di Kalimantan.

4.Perikanan dan Produk Perikanan:

Udang, tuna, dan olahan ikan lainnya merupakan ekspor perikanan utama ke AS. Nilai ekspor sektor ini bisa mencapai US$ 0.5-1 miliar per tahun. Kenaikan tarif dapat mengurangi profitabilitas eksportir dan berdampak pada nelayan serta industri pengolahan ikan.

Dampak Khusus Terhadap Perekonomian Kalimantan Timur:

Meskipun ekspor langsung Kalimantan Timur ke AS mungkin tidak sebesar provinsi-provinsi industri seperti Jawa, dampak kebijakan tarif ini tetap terasa, terutama secara tidak langsung dan pada beberapa sektor kunci:

1.Sektor Komoditas (Batubara, CPO):

Tarif Trump secara langsung tidak menargetkan batubara atau Crude Palm Oil (CPO). Namun, jika perekonomian AS melambat akibat kebijakan proteksionis yang lebih luas, permintaan global terhadap komoditas ini dapat terpengaruh. Kalimantan Timur adalah produsen batubara dan CPO terbesar di Indonesia.

Meskipun AS bukan importir utama batubara Kaltim, penurunan harga komoditas global akibat ketidakpastian ekonomi dapat memengaruhi penerimaan daerah dan investasi.

2.Industri Pengolahan Kayu:

Kalimantan Timur memiliki hutan yang luas dan industri pengolahan kayu. Jika ekspor produk kayu dan furnitur nasional ke AS menurun akibat tarif, ini dapat mengurangi permintaan bahan baku dari Kaltim atau menghambat ekspansi industri pengolahan kayu di provinsi tersebut.

Investasi dan

3.Diversifikasi Ekonomi:

Ketidakpastian akibat perang dagang dapat membuat investor asing enggan menanamkan modal di Indonesia, termasuk di Kalimantan Timur. Provinsi ini sedang berupaya melakukan diversifikasi ekonomi dari ketergantungan pada batubara. Kebijakan tarif dapat menghambat upaya ini dengan mengurangi daya tarik sektor-sektor non-komoditas yang berorientasi ekspor.

Rantai Pasok Nasional: Penurunan permintaan ekspor di sektor-sektor terdampak secara nasional akan memiliki efek berjenjang melalui rantai pasok. Misalnya, jika industri tekstil di Jawa mengurangi produksi, hal ini dapat mengurangi permintaan bahan baku atau layanan dari daerah lain, termasuk dari perusahaan di Kalimantan Timur yang mungkin terlibat dalam rantai pasok tersebut.

Kesimpulan:

Kebijakan tarif impor pemerintahan Trump, yang secara hipotetis dapat menyebabkan penurunan hingga “32%” dalam volume ekspor beberapa sektor kunci, telah memberikan tekanan signifikan pada perekonomian Indonesia.

Dampaknya bervariasi antar sektor, dengan tekstil, produk karet, kayu, dan perikanan menjadi yang paling rentan.

Meskipun Kalimantan Timur tidak selalu menjadi eksportir langsung utama ke AS untuk produk-produk ini, provinsi ini merasakan dampak melalui penurunan permintaan komoditas global, hambatan investasi, dan efek berjenjang dalam rantai pasok nasional.

Indonesia perlu terus mencari pasar ekspor baru, memperkuat daya saing produk domestik, dan mengembangkan diversifikasi ekonomi untuk memitigasi risiko dari kebijakan proteksionisme global di masa mendatang. (ASE)

wartaikn.com @ 2023