Dari Perang Tarif Menuju Perang Teluk dan Dampak Terhadap Ekonomi Indonesia

Aji Sofyan Effendi
Aji Sofyan Effendi

 367 total views,  367 views today

Oleh: DR Adji Sofyan Effendi, Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Samarinda – Koordinator ISEI Kaltim

Samarinda, WARTAIKN.COM – Ekonomi global saat ini terasa seperti jaring laba-laba yang semakin kompleks, di mana satu tarikan di ujungnya bisa mengguncang seluruh struktur.

Fenomena “perang tarif” beberapa waktu belakangan, diikuti dengan eskalasi ketegangan di Timur Tengah yang kini mengarah pada “perang teluk” antara Israel dan Iran, adalah contoh nyata bagaimana gejolak geopolitik dapat merembet dan berdampak jauh, termasuk pada ekonomi Indonesia.

Perang Tarif: Sebuah Guncangan Awal bagi Ekspor-Impor Indonesia

Perang tarif yang dipicu oleh rivalitas ekonomi antara Amerika Serikat dan Tiongkok beberapa tahun lalu adalah babak awal.

Pada dasarnya, perang tarif adalah kebijakan suatu negara menaikkan bea masuk barang-barang dari negara lain sebagai bentuk proteksionisme atau tekanan politik.

Dampak langsungnya? Biaya produksi menjadi lebih mahal bagi perusahaan yang mengimpor bahan baku dari negara-negara yang dikenakan tarif tinggi. Akibatnya, harga jual produk akhir bisa ikut naik, mengurangi daya saing di pasar global.

Bagi Indonesia, perang tarif berdampak signifikan pada sektor ekspor dan impor. Selama periode puncak perang dagang AS-Tiongkok, pertumbuhan ekspor Indonesia sempat melambat.

Meskipun Indonesia tidak langsung menjadi target tarif, ketergantungan rantai pasok global pada Tiongkok membuat permintaan bahan baku dari Indonesia turut terpengaruh.

Misalnya, lebih dari 70 persen bahan baku industri elektronik Indonesia masih bergantung pada Tiongkok. Eskalasi konflik dagang dapat mengganggu rantai pasok ini dan menekan sektor manufaktur domestik.

Di sisi impor, perang tarif juga menimbulkan ketidakpastian. Menariknya, di tahun 2025 ini impor Indonesia dari Tiongkok masih terus meningkat dan Tiongkok menjadi negara nomor satu sebagai sumber kebutuhan impor Indonesia.

Sedikit data kuantitatif perlu penulis sampaikan, pada Januari 2025: US$ 6,37 miliar (35,52% dari total impor), Februari 2025: US$ 6,1 miliar (32,37% dari total impor), Maret 2025: US$ 6,37 miliar (33,71% dari total impor), April 2025: US$ 6,37 miliar (33,71% dari total impor), Mei 2025: US$ 6,8 miliar.

Ini menunjukkan bahwa meskipun ada peluang diversifikasi, ketergantungan Indonesia terhadap impor dari Tiongkok masih sangat tinggi, sehingga menjadikan Indonesia rentan terhadap pergeseran kebijakan tarif di masa depan.

Perang Teluk: Ancaman Baru bagi Stabilitas Ekonomi Global dan Indonesia

Belum reda sepenuhnya dampak perang tarif, dunia kembali dihadapkan pada ancaman yang lebih serius, eskalasi konflik antara Israel dan Iran di kawasan Teluk yang memicu kekhawatiran “perang teluk” berskala penuh.

Dampak paling kentara dari konflik di Timur Tengah adalah pada harga minyak mentah global. Selat Hormuz, jalur maritim vital di Teluk Persia, dilewati sekitar 20% dari total minyak mentah dunia.

Jika Selat Hormuz terancam ditutup atau terganggu, harga minyak mentah Brent bisa melonjak tajam, bahkan diprediksi dapat menembus US$100 per barel atau lebih.

Kenaikan harga minyak secara drastis akan berdampak langsung pada subsidi energi yang harus ditanggung pemerintah Indonesia. Kenaikan biaya impor minyak akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Jika subsidi tidak dinaikkan, maka harga bahan bakar minyak (BBM) akan naik di tingkat konsumen, yang pada gilirannya akan memicu inflasi.

Para ekonom memproyeksikan inflasi Indonesia di kisaran 2,33 persen pada akhir 2025 dalam kondisi normal.

Namun, jika harga minyak melonjak signifikan akibat perang teluk, angka inflasi ini berpotensi merangkak naik melebihi proyeksi, mengingat harga konsumen Indonesia pada April 2025 sudah naik 1,95% (yoy), tertinggi sejak Agustus 2024, salah satunya didorong oleh peningkatan pengeluaran.

Selain minyak, rantai pasok global juga terancam. Terganggunya jalur laut Timur Tengah akan memaksa banyak kapal melakukan perjalanan memutar, meningkatkan biaya pengiriman dan menunda pasokan barang.

Ini akan memukul sektor impor Indonesia, terutama untuk bahan baku industri dan barang modal, yang dapat menghambat produksi dan meningkatkan harga jual di pasar domestik.

Lebih jauh, ketidakpastian geopolitik yang tinggi juga akan membuat investor menarik dananya dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.

Cadangan devisa Indonesia juga berpotensi mendapat tekanan akibat pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS, yang sudah cukup signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Pelemahan Rupiah akan memperburuk biaya impor dan meningkatkan beban utang luar negeri.

Mitigasi dan Ketahanan Ekonomi Indonesia

Menghadapi dua gelombang guncangan dari perang tarif hingga ancaman perang teluk, pemerintah dan pelaku ekonomi Indonesia perlu memiliki strategi mitigasi yang kuat.

Diversifikasi pasar ekspor dan impor misalnya, menjadi sangat krusial untuk mengurangi ketergantungan pada satu atau dua negara, meskipun data 2025 menunjukkan tantangan besar dalam mengurangi ketergantungan impor dari Tiongkok.

Pengembangan energi terbarukan juga menjadi investasi strategis untuk mengurangi ketergantungan pada minyak bumi dan kerentanan terhadap gejolak harga minyak.

Meskipun tantangannya berat, ekonomi Indonesia memiliki beberapa fundamental yang kuat, seperti pasar domestik yang besar dan cadangan devisa yang cukup.

Namun diperlukan kebijakan yang adaptif dan proaktif untuk meminimalkan dampak negatif dari gejolak global yang terus berlanjut.

Hanya dengan demikian, Indonesia dapat menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonominya di tengah badai geopolitik. (ASE)

wartaikn.com @ 2023