Soemitronomics & PDRB Sektor Seni dan Budaya Kalimantan Timur

Artha Mulia
Artha Mulia (berdiri) menyampaikan gagasan saat diskusi di Unmul Samarinda

 902 total views,  4 views today

Oleh Adji Sofyan Effendi (Ketua ISEI Samarinda)

PDRB sektor seni dan budaya Lahir Saat Diskusi Panel Soemitronomics

Di tengah hiruk pikuk diskusi panel Soemitronomics yang digagas oleh Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Pusat dan ISEI Samarinda, di Kampus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda, beberapa hari lalu, sebuah gagasan cemerlang mengemuka.

Gagasan ini seolah lahir dari rahim filosofi ekonomi itu sendiri. Adalah Artha Mulia, seorang pegiat seni dan budaya Kalimantan Timur, pengurus Dewan Budaya Nusantara Kaltim, dan seorang insinyur sains dan teknologi dari Universitas Sains dan Teknologi Nasional, Yayasan Pendidikan Cikini, Jakarta, yang menorehkan pertanyaan fundamental itu, bak seorang ekonom.

Pertanyaan beliau bukan sekadar interupsi, melainkan sebuah percikan pemikiran yang menerangi potensi tersembunyi dalam denyut nadi perekonomian daerah: urgensi perhitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sektor seni dan budaya.

Selama ini, narasi PDRB daerah seringkali luput memuat komponen yang secara kasat mata, bahkan secara empiris, memiliki daya ungkit luar biasa.

Sektor seni dan budaya, ibarat air yang mengalir di bawah tanah, terus menghidupi dan menyuburkan, namun tak tercatat dalam peta ekonomi formal.

Padahal, sebagaimana ditegaskan Artha Mulia, fakta berbicara lantang, sektor ini memiliki kapasitas untuk membuka peluang kerja, mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan pendapatan daerah, bahkan berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional.

Mari kita renungkan sejenak. Ekonomi, dalam filosofi dasarnya, adalah tentang pengelolaan sumber daya untuk kesejahteraan. Apa yang lebih esensial dari budaya, yang membentuk identitas, nilai, dan cara hidup suatu masyarakat? Seni, pada gilirannya, adalah ekspresi tertinggi dari budaya itu sendiri.

Ketika seni dan budaya dianggap sebagai “non-ekonomi”, kita sesungguhnya mengabaikan sebidang ladang subur yang mampu menghasilkan buah kemakmuran.

Korea Selatan, dengan demam K-Pop-nya yang melanda berbagai belahan dunia, adalah manifestasi nyata dari filosofi ini. Intervensi langsung negara, yang melihat seni dan budaya bukan sekadar “hiburan” melainkan aset strategis, telah menghasilkan kontribusi fantastis terhadap APBN mereka.

Ini bukan kebetulan atau keberuntungan semata; ini adalah hasil dari pengakuan akan nilai intrinsik dan ekstrinsik seni dan budaya.

Nilai intrinsiknya terletak pada kekayaan spiritual dan identitas yang diberikannya, sementara nilai ekstrinsiknya mewujud dalam penciptaan lapangan kerja, aliran devisa, dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Dalam konteks Kalimantan Timur, sebuah provinsi yang kaya akan warisan budaya adiluhung, gagasan ini menjadi semakin relevan.

Dari tenun ulap doyo, ukiran Dayak, seni pertunjukan tradisional, hingga inovasi seni kontemporer, semua adalah potensi yang belum terukur sepenuhnya.

Jika PDRB adalah cerminan dari seluruh aktivitas ekonomi yang terjadi di suatu wilayah, maka *mengabaikan sektor seni dan budaya berarti kita sedang melihat citra yang tidak utuh, bahkan mungkin tidak akurat*.

Lahirnya pemikiran untuk memasukkan sektor seni dan budaya ke dalam perhitungan PDRB adalah sebuah langkah maju dalam filosofi pembangunan ekonomi yang holistik dan berkelanjutan.

Ini adalah pengakuan bahwa kemakmuran tidak hanya diukur dari angka-angka produksi industri atau sektor primer, melainkan juga dari kekayaan ekspresi manusia, dari kreativitas yang tak terbatas, dan dari warisan yang membentuk jati diri bangsa.

Ini adalah ajakan untuk melihat ekonomi bukan sekadar mesin, melainkan organisme hidup yang dihidupi oleh denyut nadi budaya.

Diskusi panel Soemitronomics mungkin telah usai, namun pertanyaan Artha Mulia menggema dan seharusnya menjadi inspirasi.

Sudah saatnya kita tidak hanya berbicara tentang pertumbuhan, melainkan juga tentang pertumbuhan yang inklusif dan bermartabat, yakni seni dan budaya mendapatkan tempat selayaknya dalam narasi ekonomi kita.

Semoga dari percikan ide di Samarinda ini, akan lahir kebijakan konkret yang mengukuhkan posisi seni dan budaya sebagai pilar utama pembangunan ekonomi Kalimantan Timur. (*)

wartaikn.com @ 2023