2,338 total views, 2 views today
Oleh Aji Sofyan Effendi
Samarinda, WARTAIKN.COM – Simpang Empat Lembuswana Samarinda, Kalimantan Timur, heboh sejenak, bukan karena banjir yang biasanya melanda wilayah ini, tapi heboh karena adanya patung ikonik yang berdiri dengan padu padan warna yang sebenarnya sangat menarik, pink panta.
Patung ini pun makin mencolok saat malam karena adanya ornamen lampu sorot di bawahnya, di kepadatan lalu lintas dan di tengah hiruk-pikuk Kota Samarinda, di depan Lembuswana Mall.
Di simpang jalan strategis ini berdiri sebuah bangunan yang menjadi pusat perdebatan, yakni “Patung Siluet Pesut Mahakam”, karya seni ini digagas oleh Pemerintah Kota Samarinda sebagai penghormatan terhadap salah satu ikon kebanggaan Kalimantan Timur.
Namun, alih-alih mempersatukan, patung ini justru memicu diskusi sengit di media sosial. Publik memiliki berbagai tafsir atas bentuk patung tersebut.
Ada yang melihatnya sebagai sebuah terompet, melambangkan semangat dan keberanian. Ada pula yang mengatakan bentuknya menyerupai huruf “G”, yang dianggap simbol kemajuan dan globalisasi.
Tidak sedikit pula yang menilai bahwa patung ini lebih menyerupai kumpulan cacing, bahan makanan bagi ikan di sungai Mahakam. Bahkan ada yang bercanda bahwa itu adalah simbol alien dari luar angkasa.
Perbedaan persepsi ini bukan sekadar soal bentuk fisik, tetapi menyentuh ranah yang lebih dalam, bagaimana seni dipahami, dihargai, dan diterima oleh masyarakat.
Filosofi seni kontemporer mengajarkan bahwa sebuah karya tidak lagi hanya menjadi milik penciptanya, melainkan milik khalayak yang memiliki penafsiran beragam. Siluet Pesut Mahakam adalah cerminan dialog antara seniman, pemerintah, dan masyarakat.
Dalam hal ini, bentuk yang tidak riil, justru menjadi kekuatannya. Ketidakjelasan itu memaksa orang untuk berhenti, memperhatikan, dan berpikir.
Ia menjadi percikan diskusi yang mengundang masyarakat untuk menggali lebih dalam tentang identitas mereka.
Pesut Mahakam, sebagai satwa langka yang kian terancam, hadir dalam bentuk yang abstrak, mengingatkan kita pada kerentanan dan keindahan yang tak selalu bisa diterjemahkan secara harfiah.
Namun, perbedaan tafsir ini juga menunjukkan tantangan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Ini karena ketika sebuah karya seni publik dibuat, sering kali maknanya tidak dijelaskan secara eksplisit.
Akibatnya, masyarakat terjebak dalam ruang tafsir yang luas tanpa panduan. Di sisi lain, kebebasan interpretasi ini juga bisa menjadi alat demokrasi, karena setiap suara memiliki nilai dan kontribusi dalam membentuk narasi bersama.
Jika direnungkan lebih dalam, polemik ini mengajarkan kita tentang harmoni dalam keragaman. Siluet Pesut Mahakam adalah simbol dari sebuah masyarakat yang tidak homogen, yang memiliki berbagai cara pandang, tetapi tetap berbagi ruang dan makna.
Seperti Sungai Mahakam yang mengalir tanpa henti, patung ini mengajak semua yang melihat langsung patung maupun melalui berbagai media, untuk menghargai perjalanan, bukan hanya tujuannya.
Pada akhirnya, patung siluet Pesut Mahakam mengingatkan kita bahwa seni adalah refleksi kehidupan. Ia tidak meminta untuk dimengerti secara mutlak, tetapi untuk dirasakan dan dipertanyakan.
Perdebatan yang muncul adalah bagian dari perjalanan Kota Samarinda menuju identitas yang lebih kaya dan bermakna. Siluet itu bukan sekadar patung, tetapi cermin yang memantulkan siapa kita sebenarnya, sebagai individu dan sebagai komunitas.
Wali Kota Samarinda Andi Harun adalah tokoh demokrasi daerah dan nasional yang membuka ruang demokrasi pikir dan persepsi publik.
Wali kota mengajarkan kepada kita bahwa masalah pembangunan di daerah bukan sekadar fisik ala Teras Samarinda atau terowongan, tapi bagaimana pemimpin daerah mengajarkan tentang pentingnya sebuah imajinasi dalam pembangunan.
Ini karena seni dan batin juga butuh dibangun, mengingat di Samarinda ini tumbuh subur seni apapun, bahkan wali kota memberikan “red carpet” bagi komunitas dan pencinta seni. (*)